Bayangan Matahari

Steffi Adelin
Chapter #2

Kombo Maut Sialan

Tandon air.

Truk Tronton.

Balon Udara.

Kulkas dua pintu.

Dan, Bella si Montok.

Itu adalah panggilan yang mengiringi langkahku sejak aku menginjak dunia remaja sampai menuai gaji selama lebih dari setengah dekade di kantor jasa kontraktor ini. Tahukah kamu apa persamaan sebutan-sebutan itu?

Apa pun yang ada di dalam pikiran kalian, semuanya benar. Kalau aku menyebutnya 3 B : Big, Big and Beauty. Ehem, untuk kata terakhir, Ibuk yang menambahkan. Ibuk memujiku di setiap beliau memelukku, memanggangkanku kue, bahkan di setiap telepon dan video call. Disebut cantik beratus kali oleh Ibuk membuatku percaya bahwa aku memang cantik. Demikian juga ketika orang-orang di sekitar aku tumbuh menyebutku tandon air, truk tronton, balon udara, kulkas dua pintu, dan, Bella si Montok sebanyak ratusan kali, maka aku juga memercayainya bahwa tubuhku cocok dengan istilah itu.

Tapi, aku ini adalah tandon air yang seksi! Baiklah, seksi adalah kata tambahan dariku. Hanya afirmasi postif yang bisa menyangga kesehatan mentalku yang sudah serapuh kerupuk agar tidak remuk. Lagian, tubuhku memang tinggi, besar, dan berlemak. Aku tidak akan mampu menyanggahnya. Pembelaan diri dalam bentuk apa pun tidak akan berguna. Yang bisa kulakukan adalah menerimanya dengan iringan kutukan dan makian di belakang kepala. Mana bisa ngaku-ngaku selangsing Pevita Pearce? Konon, Ibuk dan Rindang menyamai wajahku dengan si cantik Hayati itu. Meski hati kecilku berkata mereka berbohong, tapi demi kebahagiaan mereka, aku menerimanya dengan senyum terbaikku.

"Ndut."

Not again! Mending pura-pura tidak mendengar daripada meladeni mereka yang fakir ego. Aku sudah berada dalam level gumoh dan masa bodoh menanggapi 'pujian' atas bentuk tubuhku. Aku sudah tidak bertenaga membalas ucapan yang lebih mirip pisau berkarat saat masuk ke hati. Aku bukan lagi remaja labil yang berapi-api mepertahankan harga diri dan melakukan pembalasan on the spot pada tukang rundung.

Di usiaku yang sekarang, gegabah mengambil keputusan akan berdampak pada banyak hal.

Demi cicilan mobil. Demi si Puput yang makannya mesti tuna segar yang dikukus. Bertahan, Bells.

Demikian mantra yang aku ulang-ulang dalam kepala setiap kali Sugiyono menyinggung tubuhku yang seksi. Iya, aku memiliki tubuh paling seksi dan montok, kalau dilihat dari pantulan pantat sendok. Lebar dan 'indah'. Kalian harus terima itu!

"Bella, woi."

Sepertinya aku tidak bisa terus berpura-pura. "Apa, Yono?" sahutku terdengar cukup damai meski hatiku seperti gunung aktif yang lagi erupsi.

"Lo mau gue kenalin sama Digo?"

"No, thanks." Bisakah kalian meninggalkan aku sendiri?

"Digo anak kontraktor yang gendut itu?" Markus yang menyahut.

Ck! Yono dan Markus adalah kombo maut sialan yang tidak berguna. Kenapa Tuhan menciptakan manusia jenis mereka di setiap tahapan kehidupanku? Sepertinya Tuhan tidak pernah membiarkan hidupku tenang dan bahagia.

Dasar kecombrang, jengkol, pete, sawi, pare, lo, Markus! Tanpa permisi duduk seenaknya di meja kerjaku! Tidak ada etika!

"Eits! Lo mau ke mana?"

Sawi! Markus mencengkeram sandaran kursiku sehingga aku tidak sempat menjauh dan bergerak seinci pun. Brokoli, memang si Mark. 

"Lo bau polusi, Mark. Udah berapa miligram nikotin lo hisap pagi ini?" Aku berlagak mengibas tangan di depan hidung. Markus segera mengendus seragam perusahaan kami. Pengalihanku berhasil. 

Pelan dan pasti, roda kursi kudorong menjauh dari Markus, sedikit, sedikit. Sebenarnya Markus tidak berbau asap rokok. Aku hanya, yah, tidak bisa berdekatan dengan cowok gendeng itu. Kehadirannya mengirim sinyal tanda bahaya pada setiap pori-pori tubuhku. Aku tidak mampu mengatasi perasaan itu sampai detik ini, padahal aku sadar tidak ada hal buruk yang akan terjadi di kantor yang aman dan terang benderang ini.

Lihat selengkapnya