Bayangan Matahari

Steffi Adelin
Chapter #4

Peka

"Kamu ... suka Pri?"

"Hell no!"

"Atau ...," Bang Teduh menggaruk tengkuknya yang aku yakin ada panu tersembunyi di sana. "kamu ... suka ... Rindang secara ... romantis?" jelasnya secara terbata-bata.

Tawaku tersembur begitu saja. Ternyata Rindang tak luput menceritakan pada Bang Teduh orientasi seksualku yang bikin orang-orang sekantor bingung.

"Abang nggak nuduh. Ini tuh, bagian analisis Abang untuk memahami kamu. Please, don't get me wrong," mohon nya.

Aku manusia yang tidak tegaan. Maka aku hentikan segera tawa ini demi menjaga perasaan Abang.

"I like her. No, I love her, but I can't breathe when she stays too long at the office because of her tons of work, leaving me alone. Aku suka ling-lung kalau Rindang nge-date seharian sama Pri. Aku kesepian kalau dia pulang ke kampung Bapak di Sumedang even cuma tiga hari. I just can't stay away too long from her, Bang."

Tak sadar aku hembuskan napas kelegaan setelah dadaku rasanya bagaikan dihimpit lemari sejak makan malam tadi.

Malu-malu aku intip ekspresi Bang Teduh dari balik bulu mata setelah mengucurkan isi kepalaku yang kepenuhan. Dia tidak memberiku tatapan aneh. Justru garis bibirnya melengkung ke atas diikuti dengan kerutan kecil di kedua sudut terluar matanya, menandakan matanya ikut tersenyum. Senyum yang tulus. Dan aku yakin, senyum itu adalah sejenis senyum penuh pengertian.

"Kamu hanya khawatir bagaimana hidupmu nanti akan berjalan tanpa Rindang setelah anak itu menikah dengan Pri."

Aku mengangguk sekali.

"Bells, kekhawatiran kamu wajar, kok. Kamu deket banget sama Rindang sejak TK. Dan Abang tahu kedekatan kalian nggak sekadar tetangga, sahabat, hingga teman sekantor. Fondasi persahabatan kalian jauh lebih besar dan lebih kuat dari itu. You've been through a lot sejak kecil dan Rindang selalu ada buat kamu di saat kamu butuh seseorang. Jangan khawatir jikalau ketiadaan Rindang nanti akan membuat kamu menyepi. Itu hal yang pasti. Tapi bukan berarti kamu nggak bisa move on and live your life like you used to, kan? Time will heal you, Bells. Waktu akan mengurai kesepianmu sedikit demi sedikit. Mungkin, dengan kesibukan baru, teman baru, atau ... pacar baru?"

Untuk dua kata terakhir, Bang Teduh menaikturunkan alisnya dengan cara jenaka dan penuh makna. Aku tidak akan ambil pusing untuk itu. Yang lebih penting dari semua kata-kata Bang Teduh adalah, aku tidak perlu khawatir. Waktu akan menyembuhkan.

Ah, rasanya kepalaku seperti diguyur air segar dari Pegunungan Alpen setelah bicara dengan Bang Teduh.

"Thanks to me," ucapnya jemawa setelah menilai raut wajahku yang pasti terlihat tercerahkan.

Aku terkekeh. "Iya. Terima kasih Bang Hydro Coco. Aku pikir, sekarang aku lega nggak membenci kebahagiaan Rindang. Aku tadi hanya nggak tahu apa aku bisa bertahan hidup tanpa Rindang setelah dia menikah. Hanya dia yang ngerti aku."

"Juga Abang, Ibuk, dan Bapak. Kamu selalu punya kami, Bells." Wajahnya seakan-akan berkata, Semua sudah jelas, kan?

Tidak ada benih keraguan saat Bang Teduh mendeklarasikan pernyataan barusan. Ya. Mungkin aku hanya mencemaskan sesuatu yang belum terjadi.

"Ya, tentu. Ada kalian. Untuk apa aku khawatir?"

"I know, right?"

Kekehan Bang Teduh menular padaku.

"Ngomong-ngomong soal khawatir, kalau Abang cuma lip service di depan Ibuk demi nyenengin beliau dengan ngajak aku nikah, mending jangan, Bang. Abang nggak lihat wajah Ibuk langsung kecewa setelah aku tolak ajakan nikah pura-pura Abang? Abang nggak khawatirin perasaan Ibuk yang terluka?"

"Pura-pura?"

Dia menjepit tiga kentang goreng dan menyuapi dua biji ke mulutku, dan sisanya ke mulutnya. Kan, jadi enak.

" Iya, pura-pura."

"Siapa bilang?"

Lihat selengkapnya