Kalian tahu? Melangkahkan kaki ke divisiku seakan memasuki arena Hunger Games. Semua mata tertuju padaku. Setiap gerak-gerikku dipindai mata-mata lapar yang bakal membunuhku jika aku lengah. Ada apa ini? Apalagi yang salah padaku? Tidak cukupkah kejadian waktu itu menjadi bahan gunjingan mereka?
Aku tahu dari Rindang. Ingat, kan, Rindang punya mata dan telinga di gedung ini. Secara, dia berada di jajaran sekretariat, berdekatan dengan Pak Munir, dirut kami. Ditambah, Rindang adalah orang kepercayaan Pak Munir dan tentu beliau perlu kaki tangan yang bisa diandalkan, seperti Rindang Oryza.
Setelah Sugiyono memaksaku menjawab pertanyaan-pertanyaan tendensiusnya, namaku beredar di berbagai komunitas pencinta gosip murahan. Orientasi seksualku meraih polling tertinggi untuk dibahas. Di kantor, toilet, kantin, bahkan di musala. Apa mereka bahagia setelah membahas hidupku? Apa pencernaan mereka terganggu bila tidak menyebut namaku sekali sehari? Betapa pentingnya eksistensiku untuk mereka!
Oh, satu lagi. 'Klienku' berkurang drastis menjadi ... tidak ada. Mungkin mereka takut aku bakal naksir mereka. Yang benar saja!
"Bella udah lihat, belum?"
"Nggak tahu. Nggak mau tahu juga, gue."
Bisik-bisik itu tertangkap telingaku saat menduduki kursi kerja di kubikel.
"Kasihan." Seseorang yang lain menyambung.
Kasihan? Aku memang makhluk yang haus kasih sayang, tapi tidak perlu mengasihaniku begitu. Aku sudah cukup muak dikasihani seumur hidup.
"Gue takut deket-deket dia."
"Gue juga."
Tahan, Bells. Demi cicilan mobil. Demi tuna si belang tiga Puput. Jangan sampai kamu menodai tanganmu menjambak rambut hasil catokan mereka.
"Gue nggak mau lingkungan kerja kita rusak gara-gara dia."
Apa???
Ting.
Sebuah notifikasi pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal masuk ke ponselku. Seseorang mengirim sebuah tautan video. Dari judulnya saja sudah membuat perutku melilit tidak nyaman dan ujung tanganku gemetar.
Viral!!! Seorang karyawati jasa konstruksi yang membenci laki-laki ternyata ....
Ternyata apa??? Sial. Aku juga penasaran. Diam-diam aku menontonnya di dalam salah satu bilik toilet saat jam makan siang.
***
"Lo selalu nolak pulang bareng, maksi, dan ngemal sama gue. Tahu-tahu Hasna bilang lo nggak masuk tiga hari tanpa kabar. Lo ke mana, Bells?" Suara Rindang menusuk gendang telingaku sesaat setelah aku mengucapkan halo pada ponsel.
Hasna! Hah. Aku tidak mempercayainya lagi. Semua orang di Prima Jasa konstruksi sama saja. Mau Hasna, Sugiyono, Markus, dan yang lain. Serigala berbulu domba! Semua yang menempel padaku hanya akan menarik lalat-lalat yang suka dengan harumnya bau bangkai. Aku tidak mengatakan bangkainya adalah aku, tapi bukannya tukang gosip disamakan dengan orang-orang yang memakan bangkai saudaranya sendiri? Namun, aku pikir peringatan semacam itu tak berarti banyak bagi mereka. Padahal, kalimat peringatan itu berasal dari Tuhan yang disampaikan oleh manusia pilihan-Nya. Bagaimana manusia tukang gosip bakal takut kalau rasa bangkai saja mereka tidak mau tahu. Ah, bangkaiku yang tidak enak bukan urusanku. Itu urusan mereka dengan Tuhanku dan Tuhan mereka.
"Bells, lo masih di sana, kan?"
Suara Rindang terdengar berbeda dari yang tadi, sedikit sendu, bikin aku ingin memuntahkan semua kesedihan dan amarahku dengan sebuah tangisan. Aku ... benar-benar lelah.
"Menurut lo?"
"You know what? Gue bakal ke rumah lo. Sekarang juga."
"Gile aje. Udah mau ganti hari, Rin." Lima menit lagi Indonesia bagian Jakarta akan memasuki pukul 12.00 malam.
"Gue dianterin Bang Teduh."
"Rindang Oryza, udah tengah malam. Lagian kita bakal ketemu besok. Di kantor."
"I don't believe ya! Lo pikir gue dan Abang bisa tenang tahu lo tiba-tiba out of radar gini?"
Aku bukannya mau menghilang, Rin. Aku ... malu.
"Gue cuma ... mau istirahat. Berasa capek aja beberapa hari ini."
Apakah aku boleh menambahkan kalau aku ... capek hidup? Mama, traumaku, malam-malamku, dan semua perundungan yang harus aku telan hanya karena tubuhku dan keenggananku dekat-dekat dengan makhluk bertestosteron. Itu semua bikin aku lelah hidup.
"Karena video itu, kan?"
Aku terdiam selama beberapa detik. Mungkin dengan diamnya aku, Rindang sudah tahu jawabannya. "Paling dalam seminggu hebohnya hilang."
Aku mendengar Rindang mengumpati videoku dan berteriak gusar di ujung sana. Siapa pun pasti akan bereaksi serupa Rindang, bila punya hati dan empati.
Video itu diunggah di aplikasi TikTok oleh akun bernama Hartatahtasugihyono. Apakah kalian sudah bisa menebak siapa pemilik akunnya? Tebakan kalian tidak akan salah.
Demi Tuhan! Hanya dalam waktu tiga hari, sudah 900.000 kali pengguna TikTok menyaksikan diriku dipermalukan Yono Kecombrang tempo hari. Lagi-lagi orientasi seksualku yang menjadikan video sialan itu berada di FYP. Video berdurasi sepuluh menit itu mempertontonkan kegiatanku di kantor. Namun, siapa saja pasti tahu makna terselubung video itu. Kamera selalu menyorot dan melakukan zoom pada bagian-bagian menggelembung dari tubuh montokku. Dan yang paling seru adalah, kamera itu juga diam-diam merekam kegelisahan dan kecanggunganku setiap kali aku berinteraksi dengan staf pria. Film pendek itu klimaks pada saat adegan Yono menyudutkan kelemahanku di depan Hasna.
"Kita bisa cari jalan keluarnya sama-sama, Bells. Report akunnya, kalau perlu ke meja hijau. You name it! Bang Teduh mah, langsung pengen laporin si Yono ke polisi, tapi gue tahan karena perlu consent elo. Gue bisa minta Mas Pri dampingin lo sebagai pengacara kalau lo—,"
"Tunggu-tunggu. Lo kasih tahu Bang Teduh soal video itu? Ibuk? Bapak?" potongku. Ini gawat!
"Easy, my friend. Easy!" Rindang berusaha menenangkan kepanikanku Bagaimana tidak panik? "Bapak dan Ibuk enggak tahu apa-apa. At least sampai sekarang. Dan bukan dari gue Bang Teduh tahu. Justru ... dari mahasiswanya ...."