“Tiga cara?"
"Benar. Pertama, hamba berdoa Tuhan langsung mengabulkannya."
"Okay."
"Kedua, hamba berdoa, tapi dikabulkan dengan cara lain."
"Maksud kamu?"
"Maksudnya, doanya Mbak diganti jadi lebih baik. Misalnya, Mbak minta uang sama Tuhan seribu dolar, tapi doanya Mbak dijawab dengan cara Tuhan menyelamatkan Mbak dari kecelakaan yang bakal menguras uang Mbak seribu dolar."
"Mengganti jawaban doa?" gumamku sendiri. Tiba-tiba tubuhku merinding saat memikirkan ketika begitu banyak doaku yang diganti Tuhan sejak 'kehilangan' Mama dan Papa. Tuhan ... mengirim keluarga lain untukku. Keluarga Rindang.
Hasna tiba-tiba menggenggam kedua tanganku. "Sepertinya, doa Mbak Bella sudah ada yang dikabulkan Tuhan."
Pandangan mataku mengabur dalam hitungan detik. Oh, Tuhan, maafkan aku yang telah berburuk sangka selama ini. Aku pikir Engkau mengabaikanku setelah semua yang terjadi pada hidupku. Seseorang mengeringkan air mataku yang sudah menetes di kedua sudut mata. Hasna yang melakukannya.
"Makasih.” Aku meremas tangan Hasna lembut.
“Sama-sama.”
“Yang ketiga,” pintaku tak sabaran.
"Nah, yang ketiga, semua doa Mbak yang belum terwujud akan diganti di hari akhir nanti. Doa yang kita panjatkan selama kita hidup di dunia akan menjadi tabungan amal kita. Tuhan yang akan memberi ganjarannya. Jadi doa kita enggak ada yang akan sia-sia, Mbak. Percaya, deh. Menurutku, itu adalah cara Tuhan agar kita hanya meminta kepada-Nya, bukan kepada makhluk-Nya. Selain itu, agar kita tidak melupakan siapa yang menciptakan kita dan tidak putus asa."
Apa-apaan ini? Bukannya aku yang harusnya bertugas mendengarkan Hasna? Justru, yang terjadi malah sebaliknya dan aku mendapatkan pencerahan dari klienku.
"Hasna, aku boleh peluk kamu?"
"Pakai nanya, lagi. Ya bolehlah, Mbak."
Kami berpelukan selama beberapa menit, sambil terus aku ucapkan terima kasih atas insight 'berdagingnya' Hasna.
"Bella, lo udah mulai terang-terangan nunjukin perasaan lo yang sesungguhnya ke Hasna?"
Ck! Suara menyebalkan itu. Aku memutus pelukan demi menghadapi Sugiyono Kecombrang!
“Tuhan, kapan aku bisa lepas dari siklus hidup menyebalkan ini?”
“Mbak tenang aja.” Wajah klienku mengeruh dalam hitungan detik.
“Hah?”
“Biar aku yang hadapi dia!” Desisan Hasna melalui sela-sela giginya membuatku merinding.
“Maksud kamu, Na?” Aku tersesat. Apa yang perempuan berhijab ini katakan, sih?
"Mas Yono, bisa enggak, sekali aja Mas enggak ganggu hidup orang lain?”
“Loh, ganggu gimana? Gue cuma nunjukin fakta supaya lo, Na, hati-hati sama si Ndut. Ditaksirin dia baru tahu rasa!”
“Itu tuduhan serius, Mas! Kenapa, sih, Mas Yono suka ngejelekin Mbak Bella? Dendam banget sama Mbak Bella, kayaknya. Aku tahu kok, Mas suka ngomongin Mbak Bella yang enggak-enggak di belakang. Eits! Enggak di belakang lagi, DI DEPAN ORANGNYA! Maunya Mas Yono apa, sih?"
Hasna ... membelaku?