Bayangan Matahari

Steffi Adelin
Chapter #8

Apa Kabar, Ma?

Ini menyenangkan! Aku yakin bisa terbiasa dengan keadaan ini.

Aku bisa melakukan apa pun di rumah saat orang lain berkutat di meja kubikel mereka. Aku bisa pergi ke mana pun aku mau, dan mencoba apa pun yang belum sempat aku coba. Dulu program cuti memang ada, tapi setiap mendekati hari-hari terakhir liburan, pikiranmu akan mulai dipenuhi oleh setumpuk pekerjaan yang menanti di kantor keesokan harinya. Namun, kali ini berbeda. Aku tidak perlu memikirkan pekerjaan esok hari. Tidak lagi tertekan oleh Sugiyono, Markus, dan pandangan merendahkan dari orang lain. Tidak ada! Aku bebas.

Bekerja sejak kuliah hingga usiaku seperempat abad lebih setahun benar-benar memakan masa mudaku. Mau bagaimana? Tekadku sudah bulat untuk tidak lagi bergantung pada mama. Repetisi hidupku hanya berputar pada kuliah, kerja, kuliah, kerja, hingga aku tidak sempat memikirkan diri sendiri. Oh, dan makan makanan berkalori tinggi demi meredakan setiap gejolak hati, kesepian, dan mimpi buruk yang muncul tiba-tiba. Hasil makan berkalori tinggi itu adalah aku menjadi Bella yang seksi karena lemak yang menutupi semua bagian tubuhku. Seksi dari Hong Kong! Pujian itu hanya bentuk afirmasi positif agar aku tidak terlalu tenggelam dengan cacian orang akan tubuh gendutku. Sekarang, aku ... sedikit menyesalinya.

Tapi aku sudah mulai bergerak, kok. Mencuci baju, mengepel, mencuci piring, membersihkan kulkas. Itu semua membutuhkan tenaga, kan? Bahkan Puput pun sudah kumandikan meski dibarengi cakaran dan teriakan tak rela.

Baiklah, aku hanya ngeles. Hidup sehat dengan berolahraga dan makan makanan sehat sudah menjadi waiting list-ku. Haruskah aku memulainya dengan mendaftar ke klub zumba? Atau gym? Waktuku terlalu berharga jika hanya dihabiskan di rumah.

Atau, bagaimana kalau rencana berolahraga aku tunda barang sehari dan hari ini aku ke rumah Ibuk dan Bapak sekalian makan siang dan menghabiskan waktu di sana sampai Rindang dan Bang Teduh pulang? Lagi pula keterampilan memasakku benar-benar tidak ada harapan. Bosan harus Go Food terus. Mungkin, kalau aku dibuang ke hutan antah berantah, aku akan berakhir menjadi vegetarian dan mati dengan cepat karena hanya bisa makan daun mentah.

Ting.

Notifikasi pengingat berbunyi. Perasaanku tidak enak. Sepertinya aku tahu tentang apa itu. Dan benar. Ah, merusak kedamaian pagi ini. Aku harus mentransfer cicilan mobil hari ini.

Ternyata aku tidak bisa selamanya menikmati kebebasan tanpa tanggung jawab. Memang sih, untuk beberapa bulan ke depan aku masih bisa mencicil angsuran mobil, tapi tidak bisa selamanya, kan, aku mengandalkan uang pesangon dan tabungan? Mobil adalah sarana ternyaman bagiku untuk 'bergerak' di Jakarta dan sekitarnya. Sebab, aku tidak sanggup berdesak-desakan dengan laki-laki dalam transportasi umum. Dan aku takut mengendarai motor. Kecelakaan saat belajar mengendarainya bersama Bang Teduh membuatku memasukkan motor ke dalam black list sarana transportasi.

Atau, apakah aku harus merendahkan harga diri dan mulai minta bantuan Mama?

Tidak, tidak. Itu tidak akan terjadi.

Sebentar. Bunyi apa itu?

Kelontang besi pagar dibuka membuat semua indra kewaspadaanku langsung aktif. Siapa yang masuk ke rumah pukul 11.00 siang begini? Pintu pagar selalu kukunci saat aku di rumah. Maksudku pagar rumah ini selalu terkunci 24 jam mau aku di rumah, atau sedang di luar.

Jangan-jangan ....

Dadaku berdentang tidak karuan saat memacu kaki ke pintu dengan berbagai skenario di kepala. Waspada seperti ini sudah aku pelihara sejak usiaku sebelas tahun. Ya, sejak 'waktu itu'. Geretak bebatuan yang dilindas mobil di halaman bikin jantungku makin mencelos dan lututku melemah.

Hei, itu ... mobil Mama. Tapi bukan mama yang keluar dari kursi kemudi, melainkan ... seorang pria.

Pria itu tergesa-gesa berlari ke pintu penumpang dan segera membuka pintu. Yang mengejutkanku, pria itu merangkul seorang wanita anggun yang terlihat lemah, pucat, dan tidak pernah pulang berbulan-bulan. Aku berlari menyosong mereka.

Apa kabar, Ma?

Bella bodoh. Tentu saja Mama tampak tidak baik-baik saja.

"Mama kenapa?" Dengan canggung aku ikut mengalungkan tangan pada tangan Mama yang bebas. Oh Tuhan, siapa pria di sebelah Mama?

"Kamu ndak kerja? Jam segini kok masih di rumah?" tanya Mama.

Pertanyaanku tidak dijawab. "Bella ...," Lirikanku jatuh tepat pada mata pria itu yang juga melirikku diam-diam. "Nanti Bella cerita."

Dan kami terus berjalan memasuki rumah dengan kecepatan secepat siput, menyamai Mama, sebab Mama terlihat sangat lelah.

"Aku nggak sesakit itu sampai dibantu berjalan oleh dua orang."

Sindiran Mama tidak berefek pada kami berdua. Toh, tidak satu pun dari kami yang melepas tangan Mama.

Sepertinya Mama butuh tenaga ekstra bahkan hanya untuk mengeluh. Suara Mama terdengar lemah. Walaupun demikian, Mama tidak melepaskan diri dari genggamanku dan pria itu.

"Kamu pusing, Din. Just hold my hand. Okay?"

"Kamu melebih-lebihkan hal kecil."

"Bukan hal kecil kalau pusingnya hampir setiap hari. Kamu bikin aku khawatir."

Pria ini khawatir pada Mama? Dan mengapa Mama bisa pusing hampir setiap hari? Mama sakit apa? Selagi aku memikirkan jawabannya, kami sudah sampai di depan kamar Mama. Dengan sigap pria itu membuka pintu kamar seakan sudah familiar dengan rumah ini, dengan kamar Mama. Ada yang terlewat olehku selama ini? Bahkan, sampai mama menduduki pinggir ranjang, pria itu tak mau beranjak seinci pun dari sisi Mama.

"Aku bisa mengurus diriku sendiri. Pulanglah," ucap Mama pada pria itu.

Aku seperti orang asing di tengah mereka, di rumahku sendiri.

Lihat selengkapnya