Hari ke-3 Mama di rumah dan hari ke-17 aku sebagai pengangguran.
Mama benar-benar menuruti kata-kataku (atau Dokter Andre? Aku tidak tahu pasti) untuk tidak pergi ke mana-mana, dan literally, Mama berada di rumah sejak hari pertama aku menyampaikan kembali pesan-pesan dokter itu. Lagi, bila itu berhubungan dengan si dokter anak, Mama menurut, tersenyum tipis, bahkan beliau terlihat bahagia.
Siapa Dokter Andre bagi Mama? Kapan-kapan aku akan menanyakannya pada Mama. Oh, entah kapan 'kapan-kapan' ini akan terwujud di antara kami? Daripada pusing memikirkan hubungan dokter anak itu dengan Mama, lebih baik aku mencari jawaban dari pertanyaan ini: bagaimana cara menggoreng telur ceplok dengan aman dan jauh dari marabahaya?
Kehadiran Mama membuatku melakukan hal-hal di luar nalar, yaitu memasak. Ini adalah KLB alias Kejadian Luar Biasa lain dalam keluarga kami. Putri satu-satunya Ibu Dini Ayudia mengacak-acak dapur demi sebuah nasi goreng spesial pakai telur. Memasak nasi goreng sudah seperti memasuki level advance bagiku. Jangan berharap banyak dariku. Kemampuan tertinggi seorang Isabella Amarta di dapur hanya memasak mi instan. Ketika kamu mempunyai gelas ukur untuk menakar 400 cc air dan timer ponsel untuk mendapatkan kekenyalan mi instan yang sempurna saat direbus, apalagi yang perlu dikhawatirkan?
Apakah aku ingin membuat Mama terkesan di meja makan? Aku juga tidak tahu. Mungkin, aku hanya ingin mencoba peruntunganku melihat reaksi Mama memakan masakan buatan putrinya. Siapa tahu aku bisa memunculkan lagi senyum mahal Mama gara-gara kelezatan paripurna nasi goreng instan buatanku.
Padahal tidak ada yang akan berubah di antara kami. Hubungan kami sudah seperti karet celana melar. Renggang. Namun, keinginan untuk menjadi dekat dengan orang tua adalah kebutuhan yang sangat naluriah, kan? Aku tidak bisa menyangkal yang satu itu.
Sejak kecil, makanan kami berasal dari katering, beli di luar, atau dari keluarga Rindang. Mama jarang memasak untukku karena sibuk menyangga perekonomian keluarga kecil kami. Jadi, memasak merupakan hal asing bagiku.
Later I know, semakin dewasa, aku makin memahami mengapa Mama jarang di rumah, dapur kami jarang dipakai untuk memasak, dan Mama kesulitan meluangkan waktu bermain dengan putri satu-satunya. Semua demi aku. Demi keluarga kecilnya. Aku tidak akan komplain pada Mama.
"Batu yang ditetesi air bisa mencekung, Na, apalagi hati manusia yang gampang goyah."
Tiba-tiba aku mengingat nasihatku sendiri untuk Hasna. Seharusnya aku menerapkannya pada masalahku sendiri. Baiklah! Aku akan menjadikan nasi goreng spesial pakai telur sebagai sarana membuat sebuah batu mencekung. Dan batu itu adalah hati ibuku sendiri.
Apa hal buruk yang bisa terjadi dalam pembuatan nasi goreng spesial pakai telur dengan bumbu instan nasi goreng? Tidak ada. Maka di sinilah aku berada, di dapur lengkap dengan celemek bunga-bunga. Nah, yang jadi masalah adalah bagaimana menggoreng telur ceplok dengan baik dan aman. Aku punya personal issue dengan minyak panas dan telur.
Aku tidak mungkin meminta bantuan Mama jika ingin nasi gorengnya menjadi kejutan. Lagi pula, aku masih canggung dengan keberadaan Mama. Kesibukanku dulu yang nine to five dan Mama yang super duper sibuk berada di pelosok Indonesia membuat kami hanya bisa bertemu paling lama setengah hari di rumah. Aku sempat berpikir Mama alergi dengan keberadaanku, sehingga tidak pernah betah mendekam di rumah barang sehari. Tapi sekarang, tiga hari justru membuatku mati kutu.
Ah, persetan dengan betapa menakutkannya minyak panas di kuali dan canggungnya kami. It's now or never, Bells! Pertama-tama, mari kita buat telur ceplok.
"MAMA!"
Oh Tuhan. Mengapa menggoreng satu telur saja seperti memasuki arena perang dengan bunyi letusan di mana-mana?
Minyak panas sawi! Cipratannya mengenai tanganku.
"Ada apa ini?" Mama berjalan tergopoh-gopoh mendekatiku.
"Ma, sakit," rengekku seperti Bella kecil lima tahun.
Semua terjadi dalam waktu yang amat singkat. Di mataku, Mama terlihat seperti superhero saat menutup kuali yang menutup-letup dengan tenang, mematikan kompor, dan menarik tangan kanan ke wastafel yang sejak tadi aku pegang protektif ke dada. Ternyata Mama mengaliri kulitku yang terciprat minyak panas dengan air keran.
"Kalau enggak bisa masak, jangan sok-sokan nyoba sendiri tanpa pengawasan." Ngomelnya jalan, perhatian pada tanganku juga jalan.
"Bella udah pastiin minyaknya bebas air, Ma, tapi kenapa masih nyiprat ke mana-mana?"
Lagi, Mama menarik tanganku ke ruang makan dan mendudukkanku di salah satu kursi.
"Telurnya?" Mama membawa sebuah salep dari kamarnya dan duduk di sisi kananku.
"Kenapa sama telurnya?"