Bayangan Matahari

Steffi Adelin
Chapter #10

Mujaer Coffee

Mujaer Coffee. Nama kafe yang aneh. Tapi anehnya, aku menyukai suasananya. Sepertinya aku tidak akan menyesal mengunjungi kafe ini setelah berlelah-lelah membuntuti Pri dan Rindang belanja kebutuhan pernikahan mereka.

Aku meminta waktu pada Rindang dan Pri untuk mengelilingi kafe Mujaer Coffee sebelum bertemu Mas Aryo. Aku ingin mengagumi usaha si pemilik, which is kakak laki-lakinya Pri, karena telah membuat suasana kafe ini sangat nyaman, homey, dan adem. Literally adem karena suasana yang diciptakan si pemilik kafe adalah lanskap yang dikelilingi oleh tumbuh-tumbuhan. Aku seolah memasuki halaman belakang sebuah rumah yang dikelilingi oleh pohon pisang, keladi-keladian, tumbuhan rambat, dan beberapa jenis pohon berakar tunggang yang aku tidak tahu apa namanya. Hei, bukankah itu pohon rambutan? Aku tahu karena sudah berbuah meskipun belum ranum.

Calon kakak ipar Rindang benar-benar memperhatikan keseimbangan alam di tengah merebaknya konsep kafe urban ala kota besar.

Satu-satunya benda paling modern dan mutakhir di dalam bangunan dua tingkat itu adalah mesin pembuat kopi. Aku melihatnya saat menginjakkan kaki pertama kali ke dalam sebuah ruangan beraroma kopi. Oh, satu lagi. Mesin kasir. Selebihnya ada meja kayu bekas, furnitur jadul, hingga beberapa jenis kamera analog yang dipajang di lemari jati. Tak lupa, patung kucing keramik yang sangat klasik yang memberi kesan si pemilik adalah seorang cat-person.

Sebuah angan-angan terlintas dalam benakku. Bagaimana rasanya nongkrong di kafe ini dengan Mama? Mama mungkin bakal suka dengan suasananya. Sangat homey. Atau, Mama suka kafe dengan konsep industri? Ah, andai aku diberi kemampuan bicara tanpa canggung demi mengorek isi pikiran Mama.

Komunikasi kami memang seburuk itu. Kami tidak pernah bisa memperlihatkan emosi atau jalan pikiran dengan benar. Memaksa aku dan Mama saling terbuka atas perasaan satu sama lain sama saja dengan menulis di atas pasir gurun Sahara. Bagiku, butuh dorongan tenaga dalam sekuat tenaga nuklir untuk memulainya. Bahkan sesederhana mengucapkan, "Bella sayang Mama."

Mama memang kesulitan untuk jujur menunjukkan emosinya padaku, tapi mengapa pada Rindang tidak? Menyaksikan dengan mata kepala sendiri saat Mama dengan mudahnya menggamit lengan sahabatku dan tersenyum lepas, itu benar-benar menyakiti hatiku, perasaanku.

Ah, aku mengharapkan apa dari Mama? Dari hubungan yang tidak sehat ini?

Sebuah suara bergaung rendah di kepalaku.

Bells, kamu lupa, bahwa kamu adalah salah satu alasan penyebab kemasygulan yang kamu ciptakan sendiri? Jadi jangan berharap lebih pada orang lain kalau kamu sendiri tidak mau berubah.

Benar. Aku duluan yang harus berubah. Oh, Tuhan. Tapi ini ... begitu berat.

"Hai."

Astaga naga! Suara seorang pria membuat tanganku bergetar. Gelas mocktail stroberiku di tangan ikut bergerak dan menumpahkan sedikit isinya. Hanya sapaan kecil langsung menaikkan level kewaspadaanku ke tingkat tertinggi. Dia berdiri menjulang di depan mejaku, dengan kedua tangan saling berkait di belakang panggungnya. Sapaannya hanya kubalas dengan satu anggukan dan senyum super tipis.

"Kamu ingat padaku?"

Otomatis aku mendongak lebih tinggi demi menangkap lebih banyak persona wajahnya dari pantulan lampu taman yang berwarna kuning. Sekali lihat aku sangat yakin tidak mengenal pria jangkung ini. Apa lagi dengan tanda khas di kulit wajahnya, seakan Tuhan sedang memberi sentuhan seni dengan mengecat wajah pria itu dengan cat putih di sebagian mata kirinya dan sebagian bibir nya. Jadi tidak. Aku tidak tahu siapa pria ini. Apalagi mengingatnya.

"Maaf, saya tidak mengenal Anda." Dan silakan pergi dari mejaku.

"Masa, sih?"

Eh? Tanpa permisi, si Jangkung bercorak putih duduk di seberang mejaku. Kurang ajar juga, dia.

"Hei, siapa yang mengizinkan Anda duduk di situ?"

Aku hanya ingin mempertahankan ruang privasiku yang kecil meski kafe ini adalah tempat umum.

Lihat selengkapnya