"Adek kan udah bilang, Adek enggak mau tinggal di sini lagi."
"Dek, jangan cari gara-gara sekarang. Mama lagi capek."
"Tapi Adek takut, Ma," rengekku memohon dengan sangat.
"Takut apa, kamu? Udah kelas 1 SMP masih penakut. Dengar Mama, ya, Dek. Mama lagi ribet ngurus Amarta Mart. Jangan ganggu Mama sama masalah sepele."
"Ma, Adek tuh takut sama rumah tua yang di ujung kompleks."
"Adek! Jangan sampai ketakutan kamu yang enggak beralasan itu bikin kita bertengkar terus. Itu cuma rumah yang rnggak berpenghuni, jangan berlebihan. Ini pasti gara-gara kamu sering nonton film horor sama Rindang, kan? Kamu tuh enggak mau dengerin Mama."
Dadaku kembang kempis demi mengatakan ini, "Mama enggak pernah mau ngertiin Adek. Adek benci Mama!"
Aku terkesiap dengan mata membelalak menatap langit-langit kamar yang temaram. Dadaku dihantam rasa nyeri yang tak terperi ketika potongan bunga tidur barusan seakan benar-benar terjadi beberapa saat yang lalu. Air mataku turun bagai air terjun Niagara, deras membasahi bantal. Aku terisak entah untuk berapa lama saat menangisi Bella kecil yang tak berdaya.
Aku menangis bukan karena sedih, tetapi karena dulu aku tidak pernah bisa membela diri dan mengekspresikan jalan pikiranku pada Mama dengan bebas. Dan semua perasaan tak berdaya itu tumbuh membengkak bagai kanker di dadaku, membentuk Isabella Amarta yang sekarang, yaitu seorang anak yang menyimpan kekesalan pada ibunya.
Mimpi dikejar 'orang itu' adalah satu hal. Mimpi adu mulut dan perang urat saraf dengan Mama saat aku masih kecil dengan pertengkaran yang selalu dimenangkan oleh Mama adalah hal lain. Apalagi bila rumah tua itu menjadi topik pembicaraan. Traumaku kembali menyayat luka lama yang masih basah. Namun, kedua-duanya mampu membuat tidurku bak neraka.
Pukul 02.00 dini hari. It's gonna be a long night. Aku yakin itu. Seperti yang sudah-sudah.
Aku takut kembali tidur jika harus berhadapan lagi dengan Mama versi Mother Gothel dari Rapunzel, sebab di alam mimpi sana sudah pasti aku tidak akan pernah didengar. Andai Mama tahu betapa menakutkannya rumah tua itu bagiku saat aku masih kecil. Tinggal satu lingkungan dengan rumah itu hanya akan mengingatkanku pada 'waktu itu'. Aku tidak mau mengulangnya bahkan hanya dalam mimpi. Dasar mimpi buruk kecombrang!
Sepertinya aku tidak bisa kembali tidur dengan mudah setelah mimpi buruk sialan itu. Hanya satu hal yang ingin aku lakukan saat ini. Aku meraup kotak rokok yang aku sembunyikan di sudut lemari pakaian dan membawanya ke teras belakang. Mama tidak akan tahu karena sudah tertidur pulas. Ini kesempatanku menenangkan diri. Sendirian.
Jangan ceramahi aku dengan jenis kelaminku, moral, dan kesehatan saat aku merokok. Aku sadar setiap partikel nikotin dan tar yang masuk ke dalam paru-paruku hanya sebuah ilusi kesenangan sementara belaka. Yang aku hisap hanyalah kumpulan zat kimia destruktif yang aditif yang bakal membunuhku pelan-pelan. Namun, aku butuh sesuatu untuk mengenyahkan potongan gambar menyeramkan dalam mimpiku secepat yang aku bisa. Membuat gambar itu berlama-lama menetap di kepalaku hanya akan menghancurkan kewarasanku sedikit demi sedikit.
Aku sempat mempertanyakan mengapa Tuhan memberiku ingatan yang bagus dan membuatku mengingat hal-hal yang tidak ingin aku kenang dan bawa dalam setiap tahapan kehidupanku. Apa aku begitu spesial sehingga Tuhan menobatkan aku sebagai ciptaan-Nya yang kuat menerima semua penderitaan ini?
Tuhan, aku tidak sekuat itu. Aku hanya sudah muak berpura-pura kuat demi bertahan hidup. Aku ... lelah, Tuhan.
Apakah bulan nan indah di langit berbintang bisa memburam dengan sendirinya atau ada yang salah dengan mataku? Ah, ternyata memang mataku sedang dikelabui oleh air mata. Mataku menguatkan bukti betapa lelahnya jiwaku dengan tetesan air mata kesedihan.
"Mama pikir ada pencuri yang iseng ngerokok sambil membongkar kabel TV."
"Astaga naga!"
Jantungku rasanya mau melompat dari rongganya. Aku pegang kuat-kuat dada yang di dalamnya sedang terjadi tabuhan genderang perang. Sedetik kemudian, aku baru menyadari pandangan Mama jatuh pada jemariku yang mengapit batang rokok yang tinggal seperempat di dada. Cepat-cepat aku patahkan ujung rokok pada asbak kulitku yang berbentuk dompet dan mengusap kasar mataku dengan punggung tangan.
"Sejak kapan Mama berdiri di sana?"
Mama menyandar santai di kusen pintu, lengkap dengan kimono satin yang dilepas begitu saja. Aku bisa mengintip kamisol satin dusty pink selutut yang menempel indah di tubuh Mama yang tak terlihat seperti ibu beranak satu berkepala nyaris lima.