Bayangan Matahari

Steffi Adelin
Chapter #13

Girl's Talk

Hari ke-15 Mama di rumah dan hari ke-27 aku sebagai pengangguran yang sudah mulai panik.

Sebuah pelajaran hidup baru saja aku petik dari pohon kehidupan: ternyata cari pekerjaan di Jakarta itu susahnya minta ampun. Ada yang menolak karena tubuhku terlalu bohay dan seksi untuk perusahaan mereka. Ada yang enggan menerima karena salah satu staf HRD mereka pernah melihat video yang mengolok-olok orientasi seksualku. Mungkin mereka melakukan cross-check ke Jasa Prima Konstruksi perihal kebenarannya. Lama-lama aku bisa menyesal telah keluar dari perusahaan jasa konstruksi itu.

Tidak boleh, Bells! Tidak boleh menyesal karena manfaatnya lebih besar dari mudaratnya. Atau ... perkara manfaat dan mudarat hanya ... omong kosong belaka? Apa seharusnya aku bertahan menahan rundungan demi rundungan mengenai tubuhku?

"Haaah."

"Kasihan mejanya kena gebrak batok kepalamu yang keras itu. Mending kamu ke dapur. Sekarang."

Aku menggosok jidatku yang nyut-nyutan setelah bunyi bedebum lembut terjadi karena aku sengaja membenturkan jidatku dengan meja. Cepat-cepat aku mendelik tajam pada Ibu Dini Ayudia yang sedang memakai celemek di ambang pintu kamarku. Lebih baik aku mengikuti Mama ke dapur daripada diledek lebih jauh.

Beberapa hari ini Mama sedang senang bereksperimen di dapur mencoba berbagai macam resep. Kata mama, "Mama mau lemesin tangan memegang alat dapur." Dan kata Mama lagi, "Mama udah lama nggak masak. Biasanya makan di hotel atau restoran. Mama musti belajar masak lagi, nih."

Dan hasil eksperimen itu adalah:

Sayur asem kemanisan.

Goreng ikan terlalu kering.

Ungkep ayam keasinan.

Dan terakhir, Mama mencoba membuat nasi liwet kesukaanku. Hasilnya, nasinya terlalu lembek, jadi bubur pun belum.

Percobaan apa lagi sekarang?

"Mama bikin apa?"

"Spageti. Paling simple. Tinggal rebus pasta sampai aldente, terus masukin bumbu instan. Mama yakin kali ini nggak akan gagal."

Ujung-ujungnya pakai bumbu instan. Aku terpaksa mengulum senyum geli akan kegigihan Mama demi sarapan kami.

"Cobain ini."

Lilitan spageti bersaus merah di garpu sudah melayang di depan hidungku. Mama ... menyuapi aku. Tentu aku tidak akan menolak. Sudah belasan tahun yang lalu sejak terakhir kali Mama menyuapiku. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Segera aku sambut garpu berspageti dari Mama.

Lihat selengkapnya