Bayangan Matahari

Steffi Adelin
Chapter #15

Selamat Datang

Aku akui, aku bukan seseorang yang religius. Contohnya aku tidak pandai berbakti kepada orang tua, aku masih menghisap asap berbahaya yang jelas-jelas merusak tubuhku, dan aku masih suka mengumpat. Kata sialan, sawi, petai, jengkol, brokoli, dan makanan edible berwarna hijau, bau, dan pahit adalah kata umpatan nomor dua favoritku. Sedangkan yang menempati posisi puncak adalah kecombrang. Iya, mereka itu adalah umpatanku. Aneh memang, menggunakan makanan sebagai alat mengumpat, tapi itu hanya caraku meluapkan emosi agar terdengar sedikit lebih, demure.

Sekali lagi. Aku tidak cukup religius sehingga aku harus menggabungkan dua kata yang berlawanan: astagfirullah dan kecombrang. Kata pertama terucap karena Tuhan mempertemukan aku kembali dengan si pria creepy sehingga aku merasa harus meminta ampunan-Nya. Dan kecombrang memang untuk pria sok kenal sok dekat yang wajahnya bercat putih, si vitiligo tampan tapi menakutkan.

"Aku bukan sebuah dosa sampai kamu meminta ampun pada Tuhan. Demi Tuhan! Dan ada apa dengan kecombrang? Aku suka sambal kecombrang, by the way," cerocosnya sambil berdiri.

"Maaf, sepertinya saya salah masuk ruangan," pungkasku. Aku tidak mau berlama-lama dengan si vitiligo dalam satu ruangan.

"Tunggu, tunggu."

Tubuhku berhenti mengayun keluar ruangan mendengar nada gusarnya.

"Bukannya kamu mau wawancara pekerjaan?"

“Wawancara?"

Aku memutar badan menyerong pada si vitiligo. Otakku langsung kusuruh memaksimalkan daya pikirnya untuk menyambung semua untaian benang yang mulai terlihat jelas merahnya. Rindang menyuruhku melakukan wawancara pekerjaan untuk Cuddle Your Heart, perusahaan start-up milik sepupu Pri. Berarti, pria sok kenal sok dekat yang creepy ini adalah pewawancara dari ….

"Cuddle Your Heart?" gumamku tak yakin. 

Kali ini pria yang aku tuduh creepy yang berdiri di balik meja itu tersenyum penuh kelegaan.

Dia menjulurkan tangannya padaku dengan gestur yang sangat friendly dan hangat. "Aku Aryo Budikusumo, founder Cuddle Your Heart sekaligus owner Kafe Mujaer Coffee."

Oh, tidak! Pria aneh yang mengaku-ngaku mengenaliku adalah calon bosku! Dia adalah bakal bos dari pekerjaan impianku. Dan juga, he is the man behind the amazing Mujaer Coffee. Naasnya, di tangan dialah keputusan apakah aku akan diterima atau didepak setelah kelakuanku yang kurang ajar. Itu pun kalau aku masih diberi wawancara olehnya.

“Kamu masih belum ingat padaku?”

Dia masih menanyakan hal yang sama? Aryo Budikusumo, ya? Dulu sekali aku pernah mempunyai seorang teman kecil bernama Aryo (hanya nama depannya yang aku tahu), akan tetapi dia bertubuh gempal dan kulitnya baik-baik saja. Jadi sekali lagi, tidak. Aku tidak mempunyai teman yang mempunyai kulit spesial seperti vitiligo.

"Kamu tahu? First impression adalah salah satu poin penting untuk menarik perhatian interviewer, yaitu aku," sambungnya dengan nada santai dan garis senyumnya tak pernah lepas dari bibirnya yang berwarna putih sebagian.

Oh, Tuhan. Mengapa Kau menempatkan aku dalam posisi sulit ini? Sampai kapan aku harus membiarkan tangannya melayang di udara demi menyambut tanganku?

Demi pekerjaan impian, cicilan mobil, dan tuna si manja Puput, rapalku berulang-ulang hingga mantra barusan membentuk sebuah barikade pengaman dalam kepalaku bahwa ini hanyalah jabat tangan profesional. Aku juga mengingatkan diri sendiri bahwa jabat tangan seperti ini sama saja dengan jabat tangan dengan dekan saat wisuda, atau dengan pewawancara di Prima Jasa Konstruksi dulu, atau saat aku mencium punggung tangan Bapak setiap kali bertamu ke rumah beliau.

Ada Robi di bawah jika si Vitiligo tampan itu berbuat kurang ajar. Ditambah desibel teriakanku cukup membuat masa berkumpul dengan cepat.

Meski ragu, langkahku merobot menuju meja bos dari pekerjaan impianku dan Kafe Mujaer Coffee yang menyenangkan. Aku mendorong tanganku sekuat tenaga menyambut uluran tangannya. Dan ... terjadilah.

"Isabella Amarta. Bapak bisa memanggil saya Bella."

Cukup empat detik kami bersentuhan. Aku menarik tanganku yang gemetar, lalu menjatuhkannya ke sisi tubuh sambil meremas celana kulot dengan kencang demi menghilangkan tremornya. Aku berharap pria itu tidak menyadarinya.

Sejujurnya, aku kesulitan fokus setelahnya. Aku tak tahu apa-apa lagi selain dia menyilakanku duduk dan aku patuh seperti anjing yang baik.

Relax, Bella. Hari ini adalah hari pentingmu. Buang jauh-jauh pikiran yang mengganggu demi wawancara terbaik.”

Jabat tangan kecombrang itu yang mengganggu pikiranku, Bapak Aryo Budikusumo. Pikirkan Puput yang imutnya keterlaluan, pikirkan cicilan mobil bulan depan, dan … tersenyumlah, Bells. 

"Better.” Pak Aryo tersenyum lega setelah aku memaksa menampilkan sebuah senyum profesional. “Sebelum kita mulai, please, don't ‘Pak’ me. Semua orang yang bekerja di Cuddle Your Heart dan Mujaer Coffee memanggilku Mas Aryo atau Aryo saja, kalau kamu tidak keberatan. Pak terdengar ...," Dia membolak-balikkan tangannya dengan cepat. "tua." Dia terkekeh sendiri.

"Baik. Mas Aryo, kalau begitu." Calon anak buah manut saja.

Mas Aryo tersenyum lebar. "Terdengar jauh lebih baik."

Lihat selengkapnya