Bayangan Matahari

Steffi Adelin
Chapter #16

What Have I Done?

Hari ke-20 Mama di rumah dan tidak ada lagi Bella si pengangguran. Yuhuuu.

Aku belum resmi menandatangani kontrak kerja dengan Cuddle Your Heart, tapi aku sudah mendapatkan kepastian dari Mas Aryo untuk menjadi bagian dari keluarga besar perusahaan startup itu. Sekarang, aku sedang menjalani pelatihan sebagai Cuddle Buddy. Banyak ilmu baru yang aku dapatkan dari pelatihan ini dan banyak pula yang harus aku pelajari, sebab aku adalah calon Cuddle Buddy dengan latar belakang pendidikan bukan dari psikologi.

Dan hal yang lebih membuatku bahagia ketimbang mendapatkan pekerjaan adalah saat Mama memelukku sesaat setelah aku mengumumkan hasil wawancara siang itu. Aku tidak menyangka progres membuat batu mencekung bisa secepat ini. Hati Mama sudah mulai tersentuh oleh usahaku.

Di saat itulah aku menceritakan mengenai seluk beluk calon pekerjaanku pada Mama. Awalnya Mama tidak yakin dengan kredibilitas Cuddle Your Heart. Kalau kata Mama, "Seperti perusahaan main-main." Secara, keberadaan Cuddle Your Heart di dunia bisnis tidak terlalu bergaung hebat. Sebab, tema yang diusung perusahaan itu juga tidak begitu populer, yaitu jasa teman curhat. Siapa yang butuh teman curhat di era modern seperti ini ketika platform untuk mencurahkan isi hati berserak di mana-mana. Status WA, IG Story, blog, utas di X, video Tiktok, dan lain-lain. Ditambah akhir-akhir ini media sosial dijadikan tempat untuk bertransaksi jasa ini. 'Teman curhat' yang disewa hanyalah kedok untuk saling silaturahmi dua kelamin sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Hal seperti ini membuat jasa teman curhat dengan visi misi jelas dan bukan perusahaan esek-esek terkena imbasnya dan terlihat tidak meyakinkan.

Jangan remehkan seorang Dini Ayudia. Meskipun Mama tidak yakin dengan perusahaan Mas Aryo, Mama langsung memerintahkan sekretarisnya untuk melakukan deep search Cuddle Your Heart. Dalam waktu setengah jam, Sekretaris Mama mengumpulkan seluruh informasi penting mengenai perusahaan yang dirintis Mas Aryo lima tahun yang lalu. Cuddle Your Heart memang belum sebonafit e-commerce hijau atau aplikasi perjalanan dan gaya hidup si biru yang sudah di level Unicorn, tapi menilik gigihnya Mas Aryo berjuang dari bawah untuk memperkenalkan Cuddle Your Heart dengan mengusung kenyamanan dan keamanan baik stafnya maupun kliennya, Mama meninggalkan ulasan positif. Mama memberiku dukungan berkarir sebagai Cuddle Buddy! Pendapat seorang pengusaha sebesar Amarta Ritel tentu tidak sembarangan, bukan?

Mama memang mendukung penuh pekerjaan baruku, tapi bukan berarti aku harus memilih baju-baju mahal di toko branded ini sebagai hadiah pekerjaan baru, kan?

"Ma, Bella belum butuh baju baru." Aku bersungut-sungut membisikkannya di telinga Mama.

"New job, new clothes, new shoes, Darling. Ini tuh bentuk penghargaan buat diri sendiri, Bella. Setelah beli baju, kita ke toko sepatu. Oh, kamu juga butuh tas baru," cetus Mama setelah melihat sekilas tas Michael Kors yang aku beli beberapa tahun yang lalu dari bonus dan gaji yang aku tabung dengan susah payah.

Karena aku tak kunjung memilih, tangan Mama menunjuk kemeja, dress, celana, dan blazer berbagai warna dan model dengan cepat dan meminta ukuran yang lebih besar pada pramuniaga yang membuntuti kami sejak tadi. Keras kepalanya Mama membuatku urung membantah.

"Ma, you don't have to buy me this stuff. Bella bisa beli sendiri. Bella masih punya tabungan dan sisa pesangon dari Prima Jasa Konstruksi." Kalimat terakhir aku bisikkan ke telinga Mama. Malu takut dikira miskin oleh si pramuniaga yang menguping.

Kening Mama yang mulus mengernyit minimalis. "Kamu nggak mau minta uang ke Mama?" tanyanya tiba-tiba.

Mama memutar tubuhnya lambat-lambat ke arahku dan membuatku merinding untuk hal yang aku tidak tahu. Mama bahkan tidak memutus pandangannya padaku.

"Maksud Mama, bergantung dengan uang pesangon dan tabungan memang bagus, tetapi kamu masih punya Mama. Seakan-akan hanya dengan uang tabungan dan pesangon yang akan kamu harapkan untuk bertahan hidup. Apa ... Mama ... tidak berarti lagi untuk kamu? Apa kamu ... nggak mau lagi bergantung sama Mama?"

Setelah hampir sebulan kami saling bersinggungan di rumah, baru kali ini Mama membuka isi kepalanya dengan blak-blakan dan panjang lebar. Di sisi lain aku bersyukur untuk itu, tapi tidak begini juga caranya.

"Bu-bukan begitu, Ma," kilahku meski kalimat terakhir Mama hampir benar.

"Atau ... kamu memang nggak pernah berencana mau bergantung ... sama Mama?"

Suara Mama bagai hembusan angin malam yang dingin dan rapuh. Bahkan garis percaya diri wajah seorang Dini Ayudia yang notabene pengusaha ritel sukses meluruh tak berbekas. Dia terlihat ... seperti seorang ibu yang telah dikecewakan putri satu-satunya.

"Mama, ya Tuhan."

Dalam gerak cepat, aku merangkul tubuh Mama untuk duduk di salah satu sofa yang disediakan toko dan meminta pramuniaga tadi menunggu kami. Ini darurat.

"Ma, listen." Tuhan, jaga lidahku agar yang aku ucapkan hanya versi terbaik dari kisah hidupku yang nelangsa. "Bella ingin Mama memahami apa yang akan Bella tuturkan dengan pikiran terbuka," bisikku. Aku tidak mau menarik pelanggan lain menoleh pada kami, tapi aku juga tidak ingin beranjak karena aku pikir masalah ini harus di-clear-kan secepatnya. Aku tidak mau Mama berlama-lama bersedih dan tersiksa dengan pikirannya sendiri.

"Benar, kan, apa yang Mama pikirkan?" Rintihan Mama terdengar begitu menyayat hati.

"Ma," Aku mengambil tangan tuanya yang lembut dan kurus, bertolak belakang dengan tanganku yang membengkak. Aku meremasnya pelan, agar Mama sedikit tenang. "Bella nggak bermaksud nggak akan bergantung pada Mama selamanya. Hanya saja, Bella sudah terbiasa spending money untuk apapun memakai uang Bella. Minta sama Mama ...," Duh bagaimana bilangnya, ya? "Rasanya ... sungkan, Ma."

"Ya, Tuhan. What have I done to my own daughter?" keluhnya tidak pada siapa-siapa. Mungkin pada Tuhan, lirih, dan terluka. Diraupnya rambut panjang bercat brunette dan diremasnya frustasi. Setitik bening terdeteksi di sudut mata Mama yang ber-eyeliner tipis. Meski diliputi ragu, tanganku yang bebas terus terangkat demi menghapus bukti kesedihan Mama. Mama terkejut. Namun, air matanya justru makin lancar mengalir. Meski demikian, beliau tidak menjauhkan kepalanya dari tanganku yang terus mengusap hingga air mata Mama mengering. Hatiku bergetar dengan kerinduan, kesedihan, kemarahan yang tak bisa dikeluarkan karena tersumpal di pangkal tenggorokan, membuat suaraku patah tak mampu beresonansi dengan sempurna.

Kami hanyalah dua manusia yang ternyata sama-sama memeluk luka yang tanpa sadar telah saling melukai satu sama lain hingga terlalu dalam. Luka yang kami bawa sekiranya telah membusuk, menggerogoti organ paling suci yang tak seharusnya ternoda oleh keegoisan, amarah, dan dendam, yaitu hati.

Lihat selengkapnya