Bayangan Matahari

Steffi Adelin
Chapter #17

Midnight Friend

Sudah 48 jam orang itu menghirup udara bebas gara-gara remisi. Hah! Dia mendapatkan remisi karena berkelakuan baik! Berkelakuan baik, demi Tuhan. Aku tahu aku pasti terdengar kejam, tidak berperi kemanusiaan, dan tidak menjunjung tinggi kesetaraan manusia mendapatkan hak untuk mengecap kebebasan dan kesempatan kedua setelah berbuat salah. Akan tetapi kita sedang membicarakan seorang predator seksual yang telah memangsa ratusan anak-anak yang masih suci. Kalian pikir 15 tahun di penjara sudah cukup setelah menorehkan trauma pada anak-anak itu? Bagaimana dengan trauma korban yang akan mereka bawa sampai mati? Bagaimana dengan kemungkinan-kemungkinan lain seperti, menciptakan penerus predator seksual secara tidak sengaja? Apa kemungkinan ini tidak termasuk pertimbangan hakim yang terhormat? Setidaknya, berilah korban dan keluarganya sebuah kepuasan dan ketenangan bahwa si pelaku menjalani hukumannya dengan maksimal. Walaupun aku yakin, hukuman maksimal pun tidak akan cukup memuaskan korban dan keluarganya.

Aku tahu dia tidak bebas begitu saja. Orang itu harus menjalani wajib lapor setiap dua minggu sekali sampai tiga tahun ke depan. Namun, dia seorang predator seksual. Korbannya ratusan! Itu yang hanya tercatat dalam buku catatan yang menjadi barang bukti jaksa penuntut. Yang tidak tercatat dan tidak melapor seperti aku dan Bella-Bella lain yang tidak terdeteksi, bagaimana?

Benar. Dia penyebab mimpi burukku. Dia yang membuatku takut akan rumah tua tak bersalah itu. Dia. Semua gara-gara dia!

Argh!!!

Aku tidak bisa begini terus. Mataku tidak bisa terpejam sepicing pun. Percuma berbaring di tempat tidur jika kepalaku ribut seperti pasar Majestik. Pelan-pelan aku geser bokongku keluar ranjang agar Mama tidak terbangun. Mama dan aku bukan habis melakukan pajama's party dan berakhir dengan tidur bareng, tapi kami tidur sekamar karena sedang berada di sebuah vila di kawasan Cipayung, tempat berlangsungnya akad nikah dan pesta pernikahan Rindang dan Pri besok. Rindang memasukkan aku dan Mama sebagai bagian dari keluarga intinya. Makanya aku ada di sini. Aku padamu, Rin.

Sudah lewat tengah malam. Aku terpaksa mengendap-endap seperti maling melewati beberapa staf WO dan keluarga Rindang dan Pri yang masih terjaga. Aku sengaja mengabaikan mereka demi mencari jalan keluar dari vila. Aku ingin menenangkan diri dan tidak mau beramah-tamah sekarang. Pintu gerbang utama terbuka seiring masuknya sebuah SUV putih ke halaman berbatu. Kesempatan ini tidak aku sia-siakan. Kakiku melangkah bak kaki seribu keluar gerbang sebelum satpam vila menanyaiku mau ke mana.

Gang kecil ini aku telusuri dengan lamban seperti siput sambil memeluk tubuhku sendiri karena suhu malam yang menurun. Sialnya, aku lupa membawa kardigan karena terburu-buru kabur dari kamar. Ternyata lemak-lemak yang membuat tubuhku montok tidak cukup untuk membuat diriku menghangat.

Oke, mari kita pikirkan dengan saksama, Bells. Kamu hanya perlu menata pikiran agar tidak terjebak dengan berita kebebasan orang itu. Tapi demi Tuhan. Jarak kami hanya satu jam perjalanan lewat jalan tol. Kami tidak sejauh itu. Dulu hidupku bisa sedikit tenang setelah tahu dia tidak akan ke mana-mana di dalam Lapas Cibinong. Tapi sekarang?

Bulu kudukku berdiri. Dia tidak ada di sini. Dia tidak ada di sini, rapalku berkali-kali. Ugh, aku benci terus-menerus merasa ketakutan.

Inilah alasan mengapa aku menjauhkan diri dari vila. Aku tidak mau Ibuk, Bapak, Rindang, dan Bang Teduh mengetahui caraku menenangkan diri. Dengan tangan gemetar, aku mengeluarkan sebatang rokok dan menyelipkannya di antara bibirku. Tapi sialnya ....

"Lighter-ku ketinggalan di tas. Bagus sekali, Bells!"

"Kamu butuh pemantik?"

"Astaga naga!" Tubuhku terlonjak kaget dan membuatku mundur dua langkah. Hal bagus lainnya adalah, aku tidak sengaja mementalkan satu-satunya batang tembakauku!

"Maaf, maaf. Aku nggak bermaksud ngagetin kamu."

Suara orang yang mengagetkanku terdengar sangat menyesal, satu garis lurus dengan wajahnya yang memelas. Sepertinya dia memang tulus kali ini. Haaah, lagi pula dia bosku dan kakaknya Pri. Dia tidak akan menyelakakan aku, kan?

"Tapi aku memang kaget setengah mati gara-gara Mas Aryo," gerutuku.

"Aku minta maaf, Bella," mohonnya sekali lagi.

Dia memungut sebuah rokok patah karena sialnya, kaki besarkulah yang menginjaknya sampai patah. Mas Aryo mengambil sesuatu dari saku jaket denimnya.

"Ini gantinya, sebagai permintaan maafku."

Serius? Dia menawari rokoknya sendiri? Ah, sudahlah. Persetan dengan sungkan. Aku membutuhkannya malam ini.

"Thanks."

Dia juga yang menyulut api untukku. Meskipun ragu, aku tetap menerima api darinya.

Tanpa izin, dia mengikutiku menapaki aspal gang sempit ini dalam diam dan bersisian. Aku terpaksa mengambil jarak satu meter menjauh dari Mas Aryo.

Sepuluh langkah kemudian ....

Argh! Lama-lama aku tidak tahan Mas Aryo menempeliku seperti permen karet!

"Kenapa Mas Aryo ngikutin saya?"

"Sekarang hampir pukul 01.00, Bella. Nggak bagus wanita jalan sendirian tengah malam buta. Apalagi kamunya cantik begini."

"What the heck?"

"I'm telling the truth," balasnya sungguh-sungguh.

Ya Tuhan. Sudah dua kali aku mendengar kata 'cantik' dari mulutnya. Jika Ibuk yang memuji aku cantik, aku akan langsung percaya. Tapi jika itu orang lain? Maka semua itu sudah pasti omong kosong. Apa Mas Aryo sebenarnya tukang gombal kelas kakap? Aku korban nomor berapa, nih? Dan sejujurnya, mood-ku sedang terjun bebas, maka aku tidak akan menanggapinya dan memilih diam sambil terus berjalan tanpa arah.

"Aku nggak tahu kamu juga nginep di vila. Soalnya yang boleh nginap di vila kan cuma keluarga inti kedua belah pihak pengantin. Kamu dan Rindang pasti deket banget. Persahabatan kalian langgeng banget ya sampai sekarang? Kalian temenannya tuh sejak TK, kan?"

Aku memiringkan kepala ke arahnya.

"Pri yang cerita," jawabnya cepat-cepat. Mungkin dia menangkap wajahku yang mencurigainya.

"Si Putih masih ada?"

Ini sudah sangat keterlaluan! Sudah sedalam apa dia menggali masa laluku? Cepat-cepat aku embus asap putih ke samping dan berhenti demi mengonfrontasi bosku sendiri. Dia membeoiku.

Lihat selengkapnya