Sudah 48 jam orang itu menghirup udara bebas gara-gara remisi. Hah! Dia mendapatkan remisi karena berkelakuan baik! Berkelakuan baik, demi Tuhan. Aku tahu aku pasti terdengar kejam, tidak berperi kemanusiaan, dan tidak menjunjung tinggi kesetaraan manusia mendapatkan hak untuk mengecap kebebasan dan kesempatan kedua setelah berbuat salah, akan tetapi kita sedang membicarakan seorang predator seksual yang telah memangsa ratusan anak-anak yang masih suci. Kalian pikir 15 tahun hukuman penjara sudah cukup setelah merusak anak-anak itu? Bagaimana dengan trauma yang akan korban bawa sampai mati? Bagaimana dengan kemungkinan-kemungkinan lain seperti, menciptakan penerus predator seksual secara tidak sengaja? Apa kemungkinan ini tidak termasuk pertimbangan hakim yang terhormat? Setidaknya, berilah korban dan keluarganya sebuah kepuasan dan ketenangan bahwa si pelaku menjalani hukumannya dengan maksimal. Walaupun aku yakin, hukuman maksimal pun tidak akan cukup untuk memuaskan korban dan keluarganya.
Aku tahu dia tidak bebas begitu saja. Orang itu harus menjalani wajib lapor setiap dua minggu sekali ke Balai Pemasyarakatan sampai tiga tahun ke depan. Namun, dia seorang predator seksual. Korbannya ratusan! Itu baru yang tercatat dalam buku catatan yang menjadi barang bukti jaksa penuntut. Yang tidak diakuinya, yang tidak tercatat, dan yang tidak melapor seperti aku dan Bella-Bella yang lain, bagaimana?
Benar. Dia penyebab mimpi burukku. Dia yang membuatku takut akan rumah tua tak bersalah itu. Dia. Semua gara-gara dia!
Argh!!!
Aku tidak bisa begini terus. Mataku tidak bisa terpejam sepicing pun. Percuma berbaring di tempat tidur jika kepalaku ribut seperti Pasar Majestik. Pelan-pelan aku geser bokongku keluar ranjang agar Mama tidak terbangun. Mama dan aku bukannya habis melakukan pajama's party karena telah berbaikan seutuhnya dan berakhir dengan tidur bareng, tapi kami tidur sekamar karena sedang berada di sebuah vila di kawasan Cipayung, tempat berlangsungnya akad nikah dan pesta pernikahan Rindang dan Pri besok. Rindang memasukkan aku dan Mama sebagai bagian dari keluarganya. Makanya aku ada di sini.
Sudah lewat tengah malam. Aku terpaksa mengendap-endap seperti maling melewati beberapa staf WO serta keluarga Rindang dan Pri yang masih terjaga. Aku sengaja mengabaikan mereka demi mencari jalan keluar dari vila. Aku sedang ingin menenangkan diri, bukannya mau beramah-tamah. Pintu gerbang utama terbuka seiring masuknya sebuah SUV putih ke halaman berbatu. Kesempatan ini tidak aku sia-siakan. Kakiku melangkah bak Sonic keluar gerbang sebelum satpam vila iseng menanyaiku mau ke mana.
Gang kecil ini aku telusuri dengan lamban seperti siput sambil memeluk tubuhku sendiri karena suhu malam yang rendah. Sialnya, aku lupa membawa kardigan karena terburu-buru kabur dari kamar. Ternyata lemak-lemak yang membuat tubuhku montok tidak cukup untuk melawan dinginnya dini hari.
Oke, mari kita beri sugesti positif pada pikiran yang sedang kacau ini agar tidak terjebak dengan berita kebebasan orang itu.
Dia tidak ada di sini. Dia tidak ada di sini. Dia. Tidak. Ada. Di. Sini!
Tapi demi Tuhan, jarak kami hanya 57 KM lewat jalan tol. Kami tidak sejauh itu. Dulu hidupku bisa sedikit tenang setelah tahu dia tidak akan ke mana-mana di dalam lembaga pemasyarakatan. Tapi sekarang? Bayangannya saja sudah membuat jiwaku bergetar ketakutan.
Astaga, baru lima menit, aku telah mematahkan jampi-jampiku sendiri! Bulu kudukku berdiri. Ugh, aku benci terus-menerus merasa ketakutan.
Inilah alasan mengapa aku menjauhkan diri dari vila. Aku tidak mau Ibuk, Bapak, Rindang, dan Bang Teduh mengetahui caraku menenangkan diri. Tanganku gemetar mengeluarkan sebatang rokok dari saku celana dan menyelipkannya di antara bibirku. Tapi sialnya ....
"Lighter-ku ketinggalan di tas. Bagus sekali, Bells!"
"Kamu butuh pemantik?"
"Astaga naga!" Tubuhku terlonjak kaget dan membuat kakiku mundur dua langkah. Hal bagus lainnya adalah, aku tidak sengaja mementalkan satu-satunya batang tembakauku!
"Maaf, maaf. Aku enggak bermaksud ngagetin kamu."
"Tapi saya memang kaget setengah mati," gerutuku.
"Aku minta maaf, Bella," mohonnya sekali lagi.
Suara penuh penyesalan dari pelaku yang mengagetkanku terdengar sangat tulus, sejurus dengan wajahnya yang memelas. Aku juga tidak menemukan tanda-tanda kriminal di wajahnya yang belang. Sepertinya dia memang jujur kali ini. Haaah, lagi pula dia bosku dan kakak sepupu Pri. Dia tidak akan mencelakakan aku, kan?
Sebentuk lintingan tembakau hancur tergeletak mengenaskan di permukaan aspal. Sialnya, kaki besarkulah yang menghancurkannya. Mas Aryo mengambil sesuatu dari saku jaket denimnya.
"Ini gantinya, sebagai permintaan maafku."
Serius? Dia menawari rokoknya sendiri? Ah, sudahlah. Persetan dengan sungkan. Aku membutuhkannya malam ini. Dia juga yang menyulut pemantik untukku. Meskipun ragu, aku tetap menerima api darinya.
"Thanks."
“Anytime.”
Aku terpaksa mengambil jarak satu meter menjauh dari Mas Aryo. Itu karena dia terus mengikutiku menapaki aspal jalan ini dalam diam dan bersisian tanpa izin.
Sepuluh langkah kemudian ....
Argh! Aku tidak tahan Mas Aryo membayangi setiap langkahku!
"Kenapa Mas Aryo ngikutin saya?"
"Sekarang hampir pukul 01.00, Bella. Enggak bagus seorang wanita jalan sendirian tengah malam buta. Apalagi kamunya cantik begini."
"What the heck?"
"I'm telling the truth," balasnya sungguh-sungguh.
Ya Tuhan. Sudah dua kali aku mendengar kata 'cantik' dari mulutnya. Jika Ibuk yang memuji aku cantik, aku akan langsung percaya. Namun, jika itu orang lain? Maka sudah pasti pujian sebuah omong kosong. Apa Mas Aryo sebenarnya tukang gombal kelas kakap? Aku korban nomor berapa, nih? Dan sejujurnya, mood-ku sedang terjun bebas, maka aku tidak akan menanggapinya dan memilih diam sambil terus berjalan tanpa arah.
"Aku enggak tahu kamu juga nginap di vila. Soalnya yang boleh nginap di vila, kan, cuma keluarga kedua belah pihak calon pengantin. Persahabatan kamu dan Rindang langgeng banget, ya? Bertahan sampai sekarang. Kalian berteman sejak TK, kan?"
Wait a minute!
"Si Putih masih hidup?"
Ini sudah sangat keterlaluan! Sudah sedalam apa dia menggali masa laluku? Cepat-cepat aku embus asap putih ke samping dan berhenti demi mengonfrontasi bosku sendiri. Dia membeoiku.
"Mas Aryo sampai segitunya kepoin saya ke Rindang? Tanya-tanya masa kecil saya ke sahabat saya?"
Suaraku mulai melengking di tengah kompleks yang sudah menyepi. Masalahnya aku tidak bisa menahannya. Berita kebebasan orang itu dan keponya Mas Aryo bikin kepalaku cepat panas!
"Ya ampun, Bella!" Dia malah mengacak-acak rambut lurusnya dengan frustasi. "Kamu enggak ingat, dulu sering bawa si Putih ke rumahku? Soalnya kamu mau jodohin si Putih sama Mujair, kucing jantanku yang warnanya mirip ikan mujair. Does that sounds familiar now?"
Aku sering datang ke rumahnya membawa si Putih? Hanya tiga tempat yang aku datangi ketika aku kesepian sendirian di rumah saat mama dan papa terlalu sibuk bertengkar, atau sibuk dengan pekerjaan mereka. Dan semua tempat itu berada di dalam satu kluster perumahan tempat tinggalku di Bogor. Tempat itu adalah rumah Rindang, rumah tetanggaku yang mempunyai banyak kucing, dan terakhir rumah Tante Tati, kakak kandung Mama. Oh, lebih tepatnya, rumah keponakan bejat Mama.
Dan satu-satunya tetanggaku yang punya banyak kucing adalah ....
"Bang … Aryo?" Aku yakin suara terdengar tidak meyakinkan.
"Thank God. Finally. Yes. It's me!" Garis senyumnya tertarik sempurna ke kiri dan ke kanan.
“Bang Aryo yang tinggal di depan rumahku dulu?"
"Tidak salah lagi."