Bayangan Matahari

Steffi Adelin
Chapter #19

Kejutan-kejutan

"Bella."

"Kenapa ... Mbak ... Lid?"

Lidahku mendadak kelu karena wajah Mbak Lidia berubah sendu, persis seperti tatapan keluarga tumbuhanku ketika mengelilingiku di brankar rumah sakit setelah aku diselamatkan dokter karena melarikan diri dari masalah, dari dunia.

Secepat kedipan mata, satu-satunya senior perempuan di Cuddle Your Heart merangkul tubuhku dengan sebelah tangannya dan merebahkan kepalanya ke bahuku. Tentu aku kaget. Sangat.

"Dulu lo pasti menderita banget. Ternyata hidup udah keras ke elo remaja. Gue enggak bisa bayangin, Bella, but I feel you," katanya bersungguh-sungguh.

Ah, ternyata .... Aku tersenyum lepas. Sial. Mataku jadi berkaca-kaca.

"Sekarang gue udah enggak apa-apa, kok, Mbak. Bullying taught me what life is."

Jadi, perkenalkan namaku Isabella Amarta dan rundung adalah nama tengahku.

"Gila! Toksik bener temen-temen lo. Coba kalau gue satu sekolah sama lo, habis mereka sama gue." Edward berpidato dengan menggebu-gebu.

"Abang salut, loh, sama Bella. Kamu enggak mungkin memilih pekerjaan ini kalau kamu enggak mempunyai sifat healing, menyembuhkan orang lain. Dan kamu punya kemampuan itu, Bella. Enggak banyak orang yang mau bersusah payah peduli dengan masalah orang lain sedangkan dia sendiri juga membawa segunung masalah. Berarti kamu tipe perempuan kuat. Benar, kan?"

Bang Nusa sampai meminta persetujuan rekan-rekan yang lain yang sedang makan siang. Dan semua orang menyetujuinya! What?

Perempuan kuat? Andai mereka tahu tubuhku adalah bukti hidup betapa kelirunya prasangka Bang Nusa. Kuras isi lambung karena keracunan obat diet, minum obat rutin karena lambung yang menolak sehat, tidur tidak nyenyak setiap malam karena mimpi buruk, sampai ... tato sayatan permanen di pergelangan tanganku. Lengan panjang bajuku saja yang membuat orang-orang tidak tahu betapa tidak kuatnya seorang Isabella Amarta.

"Jangan meragukan perkataan Nusa, Bella." Mataku beralih pada maniknya yang teduh. Bang Aryo.

Bagaimana dia tahu aku meragukan kata-kata Bang Nusa? "Bang Nusa hanya terlalu hiperbolis menggunakan frasa perempuan kuat, Bang. Percayalah, aku enggak sekuat itu."

"Bells, butuh keberanian dan penerimaan diri yang luar biasa kuat untuk berada di posisi kamu saat ini. Aku yakin itu. Kamu pasti prihatin dengan klienmu dan enggak mau klienmu mengalami hal yang sama seperti kamu, kan?"

Matanya ikut-ikutan menuntut jawabanku. Maka cepat-cepat kepalaku mengangguk.

"Itu dia. Kamu akan melakukan apa pun yang dibutuhkan untuk memutus siklus perundungan itu. Salah satunya dengan membuat klienmu stand up for his life. Itu membuktikan kamu tidak mau dikontrol oleh trauma rundung dan memilih menjadi wanita kuat meski aku yakin kamu pasti tertatih-tatih demi sampai ke titik ini. Alih-alih berkubang dalam trauma, kamu memilih untuk melepaskan diri dari jerat masa lalu yang seperti perangkap dan membuat orang lain bangkit dari keterpurukan. Itu yang namanya free will. Kamu memiliki kemampuan untuk membuat keputusan apa pun yang kamu mau demi kebaikan dirimu, Bells."

"Mas, Mas cocok deh jadi kru Cuddle Buddy. Boleh tuh, coba terima klien," seloroh Edward memecah suasana serius dan mengundang tawa rekan-rekanku yang lain.

Gara-gara selorohan Edward, Bang Aryo memutus tatapannya yang teduh dan membuat jalan napasku kembali berfungsi normal. Oh, astaga. Dari tadi aku menahan napas dengan tidak sadar! Aku tidak tahu apa gara-gara matanya yang tidak beralih sedetik pun dariku atau karena penghargaan Bang Aryo yang terlalu tinggi terhadap luka masa laluku, yang membuat fungsi pernapasanku terganggu.

Pasti ada yang salah dengan paru-paruku.

***

Cuddle Your Heart membuat hari-hariku penuh warna baru. Warna persahabatan, warna positif, warna penerimaan, warna pengertian, warna humanis, dan warna kesetaraan. Ajaibnya, ada warna yang hilang, yaitu warna penghakiman dan warna perundungan.

Baiklah aku benar-benar tidak menyesal telah resign dari Prima Jaya Konstruksi. Seorang pendaki harus mengalami dehidrasi, kelelahan luar biasa, hipotermia, hingga penyakit ketinggian demi mencapai puncak gunung. Atau, seorang akademisi harus melewatkan banyak waktu tidurnya untuk membaca ratusan buku dan jurnal, menghabiskan banyak uang demi penelitian panjang yang yang melelahkan demi sebuah gelar dan kebermanfaatan umat manusia. Intinya, pengorbanan harus terjadi demi sebuah tujuan yang lebih besar dan hidup lebih baik.

Seorang Isabella Amarta ditakdirkan Tuhan harus melewati perundungan, kehilangan kasih sayang Mama, nyaris kehilangan nyawa, dan kehilangan pekerjaan demi memasuki dunia baru, dunia di mana akhirnya aku menjalani hidup normal dan dihargai sebagai manusia. Kini, keluarga satu-satunya telah kembali padaku, dan seorang teman baik yang dulu pernah pergi di masa lalu muncul lagi di hadapanku. Hidupku ... lengkap.

"Hei Ibu Bella. Belanja mulu."

Karena namaku disebut oleh Mbak Lidia, aku menoleh ke belakang dan menemukan seniorku kepayahan membawa dua kardus di tangannya.

"Cie yang paketnya datang," godaku.

"Bukan punya gue, Bella. Dua-duanya punya lo."

"Apa?" Meski bingung, aku tetap bergegas mengangkat bokong dan berlari kecil menyongsong Mbak Lidia. Dalam sekejap dua kardus itu berpindah ke tanganku. "Thanks by the way, Mbak. Perasaan, gue nggak mesen apa-apa, deh, Mbak."

"Oh, ya? Coba lihat pengirimnya," saran Mbak Lidia.

Aku mengambil kotak kardus coklat dan membaca label pengirim. "Teduh Nucifera. Ini dari abang gue, Mbak."

Bang Teduh mengirim apa, sih? Bikin penasaran saja. Kotak berukuran kardus Indomie ini aku robek tak sabaran.

"Bantal leher Ice Bear! Bantal kepala Ice Bear! Mug, pena, buku, standing figure. Semuanya Ice Bear!"

Lihat selengkapnya