Bayangan Matahari

Steffi Adelin
Chapter #20

Kambuhan

"Demi Tuhan! Sebagai orang tua, gue enggak bakal mau tinggal di perumahan yang sama dengan ini orang!"

Demikian kalimat pembuka Mbak Lidia setelah doa pagi selesai. Semua orang bertanya-tanya mengapa Mbak Lidia senewen.

"Napas, Lid. Belum sarapan? Nih."

Bang Aryo tiba-tiba bergabung dengan kami dan menawarkan kami kotak bekalnya yang berisi potongan buah beraneka warna. Astaga! Hidupnya kelewat sehat. Aku mencomot sepotong semangka kuning yang dicueki Mbak Lidia.

"Thanks, Bang." Aku mengangkat potongan kedua semangka merah. Dia mengangguk dan menyuruhku memegang si kotak buah. Dengan senang hati, Bang Aryo.

"Cerita. Ada apa, Lid?" desak Bang Nusa.

"Ini, Bang. Gue nonton berita pagi soal si Didit."

"Didit?" Edward bersuara.

"Itu lho, Ed, predator seksual yang memangsa anak-anak di Bogor. Masih ingat, kan, sama berita 15 tahun lalu?"

Deg.

Entah bagaimana caranya, seakan-akan ada magnet tak kasat mata yang membuat aku dan Bang Aryo saling melirik diam-diam. Kami bertukar pandang tanpa suara.

"Dia udah bebas, kan?"

"Udah, Bang. Kayaknya udah dua bulan ini, deh," sambung Edward.

Tepatnya 65 hari, Edward. Benar, aku menghitung si Kecombrang Didit menghirup udara bebas.

"Terus?"

"Menurut kalian, apa kalian bakal merasa aman tinggal sekompleks sama mantan napi pedofil, si predator seksual yang suka memangsa anak-anak?" Mbak Lidia menodong kami satu per satu dengan pertanyaannya.

Pertanyaan ini sudah pasti mempunyai jawaban yang seragam. Sudah pasti tidak, lah!

"Menurut Abang, hukuman 15 tahun sudah menghasilkan efek jera, deh. Dan dia juga enggak bebas-bebas amat. Diwajibkan melapor selama tiga tahun, kan? Jadi Abang pikir, semua mata tertuju pada Didit sekarang. Abang yakin, dia akan selalu merasa gerak-geriknya diawasi seumur hidup."

What??? Bang Nusa ... berpikir seperti itu?

"Gue sebagai ibu beranak satu enggak bisa sependapat sama Abang. Weather dia yang pindah dari lingkungan gue, atau gue yang pindah dari sana. Itu lingkungan enggak akan sehat, terutama buat orang tua yang bakal kepikiran terus soal keamanan anak-anaknya."

Aku padamu, Mbak Lid. Kita sepakat.

"Tapi Bang, gue pernah baca sebuah artikel kalau para predator seksual ini sifatnya kambuhan."

"Kambuhan? Maksudnya gimana, Ed?" tanyaku. Aku menajamkan telinga.

"Menurut psikolog forensik, Pak Reza Indragiri Amriel, dalam waktu lima tahun, 10-15 persen predator mengulangi perbuatannya. Setelah sepuluh tahun, 20 persen menjadi residivis, setelah 20 tahun, 30-40 persen memangsa korban lagi. Jadi kita memang diminta waspada."

APA?

Aku tahu manusia bisa berubah, tapi ... dia? Dengan jatuhnya korban anak-anak yang berjumlah ratusan di masa lalu sudah menjadi bukti bahwa kejahatannya benar-benar biadab. Sangat jahat. Aku tidak mau berbaik sangka dengan orang seperti dia. Praduga tak bersalah? Bullshit. Omong kosong. Aku adalah korban yang tak terdokumentasi buku catatannya. Dia bisa saja melakukannya lagi pada siapa pun tanpa terdeteksi. Bahkan dia bisa mendatangiku lagi dan mengulangi perbuatannya di rumah tua.

Aku memeluk tubuhku yang malang yang terus-terusan didera ketakutan.

Dan kenyataan bahwa akulah yang menyebabkan dia dipenjara makin membuat bulu kudukku merinding. Akulah yang melaporkan dia ke polisi lewat Ibuk. Aku penyebab di masuk penjara. Tuhan, aku ... takut.

"Bella, kamu enggak apa-apa?"

Mataku mulai fokus gara-gara suara Bang Aryo yang terasa sangat dekat dan lembut. Dia ... berlutut di depanku berlagak khawatir. Pertahanan diriku teraktivasi otomatis ketika aku tahu dia meletakkan kedua tangannya pada sandaran tangan kursiku di sisi kiri dan kanan. Tidak! Dia mengunciku agar aku tidak dapat ke mana-mana. Dia pasti akan berbuat jahat karena aku wanita lemah yang mudah diperdaya, karena aku korban pelecehan. Semua pria sama saja!

"Pergi!"

Aku mundur melepaskan diri dari kungkungannya. Kakiku bergerak sendiri dan berjalan mondar-mandir sambil memeluk tubuhku. Dia ... dia terlalu dekat. Dia pasti ingin mencelakaiku. Papa, Didit, Markus, Sugiyono, bahkan Bang Aryo. Mereka sama saja. Mereka semua jahat.

"Lid."

"Baik, Bang Nusa."

"Hati-hati Mbak Lid."

"Dia enggak akan celakain gue! Diam, Edward!"

"Lidia, take good care of her, please."

"Iya Mas. Tenang aja."

Lihat selengkapnya