Bayangan Matahari

Steffi Adelin
Chapter #21

Dialektika Di Bawah Sinar Matahari

Aku pikir, aku akan kembali mendapatkan tatapan sinis dan suara-suara sumbang dari rekan kerjaku di Cuddle Your Heart. Dan aku pikir seseorang pasti menaruh video lagi tentang aku di media sosial dan membunuh karakterku perlahan-lahan. Namun, yang aku dapatkan adalah semua pikiran, gagasan, dan tuduhan yang aku buat untuk diriku sendiri hanya bermain dalam kepalaku. Aku yang menciptakannya. Aku yang menggerogoti diri sendiri dengan sugesti negatif. Sebab, tak satu pun dari mereka yang mengejekku, meremehkanku, atau bahkan bertanya perihal peristiwa kemarin.

"Bella pasangan manusiaku," sapa Edward seperti biasa dengan nada tinggi.

Mbak Lidia mengeluhkan anaknya yang tiba-tiba tidak mau dititipkan ke rumah neneknya hari ini. "Drama banget anak gue, Bella. Masa dia bilang, Bunda enggak sayang lagi sama Yaya. Oh astaga. Pengin ketawa, tapi Yaya anak gue. Nanti pesan ice cake, yuk?"

Bang Nusa mentraktir kami semua dengan kopi dan kroisan. Begini kata-kata mutiaranya saat kopi wangi itu mendarat di mejaku, "Good coffee for a good day."

Bahkan Bang Aryo membelikan kami tiket untuk bermain go-kart hari minggu nanti.

Lalu, saat aku mencoba meminta maaf, sebab setelah Bang Aryo memberiku izin tidak bekerja, aku langsung pulang tanpa repot-repot melihat ke belakang dan membereskan kekacauanku, respon yang aku dapat benar-benar di luar prediksi.

Edward menawarkan dirinya sebagai teman curhatku, personally, tanpa embel-embel Cuddle Your Heart. Gratis!

Mbak Lidia merangkulku dan berkata, "Kenapa minta maaf segala, Bella? It's so human. Lo hanya butuh bicara sama seseorang kalau lagi banyak pikiran. Gue akan selalu ada buat dengerin lo!"

Kemudian Bang Nusa menarik kesimpulan. "Nah, dengar, kan, Bella? Abang idem. Now get back to work!"

Hatiku lega, tapi tidak benar-benar lega. Sebab, ada satu orang yang paling membutuhkan hujan maafkan. Itu, dia yang wajah dan kulit tubuhnya penuh dengan lukisan Tuhan. Aku belum bertemu dengannya sejak tadi pagi hingga siang ini

"Hah!"

Aku menghempaskan punggung ke lantai kayu gazebo dan mengeluarkan asap putih dengan kasar dari mulut agar dadaku sedikit lapang. Pikiranku sedang mencoba menyesuaikan diri dengan 'serangan' perhatian positif dari Bang Nusa, Edward, dan Mbak Lidia. Mereka tidak menghakimiku. Mereka ... justru sangat suportif.

"Ini ... artinya bagus, kan?"

"Apanya yang bagus?"

Astaga dragon!

Suara Bang Aryo! Segera kutegakkan punggung dan 'behave' layaknya karyawan yang baik di depan bos. Puntung rokok aku sembunyikan walaupun tindakan itu percuma. Toh, asapnya sudah ke mana-mana dibawa angin.

"Abang mau ngerokok juga?"

"Enggak. Mau makan camilan."

"Ooh."

Pasti camilan sehat.

Bosku ke sini memakai kacamata hitam! Aneh. Dia langsung mengambil tempat di sisi kiriku, meraup kacang berbagai spesies ke mulutnya, lalu kemasan kacang sehat itu didorongnya lebih dekat padaku.

"Sendalnya lucu."

Pandanganku otomatis jatuh pada kaki bengkakku yang dibalut sendal berboneka beruang putih.

"Makasih. Ada yang ngirim paket kemarin. Pengirimnya sepertinya sama dengan yang mengirim boneka. Soalnya kartu ucapannya juga sama. Kartu beruang putih. Katanya, dulu aku sempat kehilangan sendal beruang putih, sekarang dia menggantinya," cerocosku tanpa ditanya.

"Yakin dari keluarga kamu?"

"Yakin. Dia memanggilku 'adek'. Dia pasti salah seorang saudaraku yang tinggal di Bogor."

Bang Aryo memanggut-manggut dan melanjutkan mengunyah kacang-kacangnya.

"Jadi, apanya yang bagus?"

Ternyata Bang Aryo tidak melupakan pertanyaannya. Masalahnya, apa dia orang yang tepat untuk aku ajukan pertanyaan tadi?

"Itu kenapa pakai sunglasses segala di rooftop? Kan lagi nggak ke mana-mana." Aku menunjuk kaca mata hitam bingkai kayunya. Duh, ternyata aku belum siap menanyakannya ke Bang Aryo.

"Mataku sensitif." Dia menenggerkan kaca mata pada tumpukan rambutnya dan menunjuk area sekitar mata kirinya yang berbercak putih. "Bagian yang ini dilewatin vitiligo. Suka sensitif sama cahaya. Buatku cahaya siang ini terlalu silau."

Aku mengangguk mafhum, tapi sedetik kemudian teringat sesuatu. "Lha, terus ngapain ke sini? Rooftop adalah tempat cahaya matahari berpesta pora tanpa batas. Abang hanya berlindung di bawah atap gazebo dan lensa kacamata hitam. Mana cukup?" Apa yang ada di dalam pikirannya, sih?

"Aku kangen kamu yang cerewet dan peduli pada orang lain, persis seperti dulu."

Sepertinya bola mataku berputar otomatis, deh.

"Sebenarnya aku ingin tahu, kenapa salah satu Cuddle Buddy-ku tiduran di sini. Apa karena senang memandangi langit biru? Suka menerka bentuk awan? Apa hanya ingin menikmati sepi? Atau karena siang-siang begini memang enak buat bobok siang ditemani angin sepoi-sepoi? Padahal kami menyediakan kamar khusus untuk tidur siang, lho."

Aku terkekeh geli. "Terima kasih atas atas usaha Abang menebak isi kepalaku meski semua terkaannya enggak ada yang benar."

Bang Aryo pura-pura terkejut. "Ah, sial. Tebakanku meleset semua. Kalau begitu, apa yang benar?"

"Aku di sini karena lagi mikirin ini itu." Kedua bahuku terangkat samar.

"Ini itunya bisa dipisah satu-satu menjadi ini saja atau itu saja. Ayo coba kita urai sama-sama."

Heran, dia selalu ada saat pikiranku sebising pasar. Kalau dipikir-pikir, Bang Aryo sangat suka 'ikut campur' urusan orang lain. Apa karena ini dia mendirikan Cuddle Your Heart?

"Bang, aku pernah baca kulit penderita vitiligo sensitif akan banyak hal. Salah satunya sama cahaya matahari."

"Itu betul." Kedua matanya menyipit jenaka. Aku tahu dia merasa terganggu dengan 'pengalihan isu' ini.

Lihat selengkapnya