Bayangan Matahari

Steffi Adelin
Chapter #22

Sarang Psikolog

Kami duduk dengan nyaman di sofa yang telah disediakan oleh Cuddle Your Heart di dalam salah satu ruangan curhat. Yang tidak nyaman adalah perasaanku, sebab yang menjadi klienku adalah teman SMA-ku. Tidak ada yang salah dengan teman SMA. Masalahnya terletak pada aku harus mendengar curhatan seseorang yang pernah menyebarkan narasi-narasi busuk tentang fisikku yang gemuk saat kami duduk di bangku SMA. Benar, dia perundungku dulu.

Padahal dia bebas memilih Cuddle Buddy mana saja yang dia inginkan selain aku. Dan dia juga pasti tahu aku adalah satu-satunya Cuddle Buddy yang bukan berlatar belakang psikologi. Jadi, mengapa harus aku?

Ah, sudahlah. Makin cepat sesi ini dimulai, makin cepat dia pergi dari sini. Aku berdeham membersihkan jalan suaraku sebelum memulai.

"Baiklah Mbak Siska. Sebelum kita mulai, saya akan menjelaskan peraturan layanan Cuddle Buddy."

"Halaaah, saya, saya. Lo-gue enggak apa-apa. Kayak lo enggak kenal gue aja," selanya. "Nggak usah mbak-mbak-in gue, Bella."

Sabar, Bells. Orang sabar cicilan mobilnya lancar.

"Baiklah. Jika dengan mengganti kata sapaan membuat klien nyaman, kami akan mengikuti kehendak klien."

"Nah, gitu, dong."

Oh, Tuhan. Baru lima menit sudah begini. Bagaimana 55 menit kemudian?

"Siska, seperti yang telah lo baca di syarat dan ketentuan curhat dengan Cuddle Buddy, sesi curhat kita akan direkam oleh CCTV." Aku menunjuk kamera yang tertancap di salah satu sudut ruangan. "Lo menceklis tidak ada kontak fisik seperti pegangan tangan, rangkul, pelukan, dan lo juga menceklis boleh makan dan minum selama sesi curhat. Dan sebagai penutup, apa pun yang lo ceritakan, kami akan menjaga rahasia lo dengan baik."

"Iya, gue ngerti."

Baiklah. Inilah kalimat pembuka yang wajib dikatakan sebelum sesi curhat dimulai.

"Gue siap mendengar curhat lo, Siska."

"Lo konsisten, ya, gendutnya?"

What???

"Siska, gue bilang gue siap dengerin curhat lo."

"Zaman udah canggih begini, kenapa enggak sedot lemak aja di Korea? Sekalian koreksi rahang sama tulang hidung lo biar batangnya tinggi."

"Sis."

"Gue berhasil, tahu. Lihat hidung gue. Simetris. Batang hidungnya ditambah jadi agak tinggi. Dagu gue, Bella. Sumpah! Ini tuh yang paling the best. Lancip dikit, tapi bukan lancip yang kayak di-filler atau tanam benang. They made it look like it's my natural chin."

Kalau aku perhatikan, wajahnya memang terlihat sempurna. Tapi bukan itu inti dari pertemuan ini! Get yourself together, Bells!

"Siska, gue harus ingetin lo bahwa waktu terus berjalan dan lo hanya mengambil sesi 60 menit. Waktu kita tinggal 45 menit lagi."

"Ck. Iya, iya. Gue pikir lo mungkin butuh saran gue, secara gue berhasil di klinik kecantikan di Korea sana. Gue bisa rekomendasiin lo ke dokter gue. Gue kan udah langganan dan lo bisa dapat diskon dengan kartu member gue."

Tidak ada yang berubah darinya. Siska memang terkenal ceplas-ceplos dan suka bicara sembarangan tanpa berpikir. Itu sebabnya dia tidak pernah memikirkan perasaanku setelah menyebar rumor tentang fisikku yang gemuk. Dan hari ini, dia melakukannya lagi. Namun, hati nuraniku mengatakan dia benar-benar peduli dengan tubuhku yang katanya perlu dikoreksi. Hah, peduli! Tetap saja, caranya peduli masih menyakitkan hati.

"Terima kasih saran lo. Gue akan memikirkannya." Atau tidak sama sekali.

Dia langsung tersenyum manis. Sangat manis. Aku mengatakannya dengan tulus. Sebenarnya Siska adalah perempuan tercantik di SMA. Kalau dia tidak mengajak satu sekolah mengejek tubuhku, mungkin kami bisa berteman baik. Dan benar, kan? Dia memang tulus peduli pada bentuk tubuhku yang dianggapnya tidak sempurna. Tubuhku memang jauh dari kata sempurna. Aku juga tidak menyukai lemak-lemak ini.

Namun, meski aku suka minder dengan bobot tubuhku sendiri, Mama bilang aku cantik. It's more than enough. Aku tidak perlu pengakuan dunia bahwa aku cantik.

Dan satu lagi. Aku tidak akan pernah membenci tubuhku yang telah bersusah payah bertahan menghadapi berbagai hantaman trauma yang menjerat kakiku ke bumi seperti bayangan menakutkan. Tidak akan. Sebab, aku hari ini adalah hasil masa laluku. Dan aku bersyukur untuk itu. Itu sudah cukup bagiku untuk tidak mengubahnya. I love my body the way it is!

Cukup Bells. Mari jalankan peran sebagai Cuddle Buddy.

"Jadi, ada yang mengganggu pikiran lo? Cerita sama gue."

"Gue lega ketemu lo di sini, soalnya selama tinggal di Jakarta, gue enggak punya temen ngobrol," akunya sedikit sendu.

Aku tidak tahu apakah aku harus senang atau tidak mendengar kelegaannya.

"Lo tahu? Gue nikah lima tahun yang lalu. Gue pikir dengan menikah, gue akan punya teman ngobrol, teman berbagi, dan mencoba hal-hal baru seperti pasangan suami istri bahagia yang gue lihat di media sosial. Namun, kehidupan pernikahan gue jauh dari kata bahagia. Semenjak bapak mertua gue menyerahkan perusahaannya sama laki gue, istrinya bukan lagi gue, Bella, tapi perusahaannya. Business trip ke luar negeri tiap sebentar, lembur, atau perjalanan luar kota yang memakan waktu berhari-hari. Setiap kali gue mau ikut, dia selalu beralasan takut gue mengganggu pekerjaannya."

Ingin rasanya aku menggenggam tangan Siska dan memberi ketenangan. Sebab, dia terlihat begitu rapuh sekarang. Namun, sesuai perjanjian di awal, tidak ada kontak fisik. Maka aku menahan diri untuk tidak melakukannya. Sebelum lanjut, aku menyarankannya minum dan dia menerimanya.

Lihat selengkapnya