Bayangan Matahari

Steffi Adelin
Chapter #23

Bunga Matahari dan Klien Rese

Briefing pagi ini tidak diisi dengan petatah petitih Bang Nusa seperti pagi-pagi sebelumnya, tapi malah membahas hal lain.

"Bagi siapa pun yang kedapatan ketemu kurir yang mengantar paket untuk Bella, tanya ke kurirnya, siapa pengirimnya dan bagaimana ciri-ciri orangnya. Resepsionis di bawah juga sudah Abang perintahkan untuk melakukan hal yang sama. Nanti Abang dan Aryo akan mengecek CCTV untuk melihat apa ada yang aneh selama paket-paket itu datang."

"Bang, yang manggil aku 'adek' cuma keluargaku. Kayaknya Abang bereaksi terlalu berlebihan, deh. Enggak perlu sampai segitunya."

"Menurut Abang ini enggak berlebihan, Bella. Ini untuk pencegahan dari hal-hal yang tidak kita inginkan di kemudian hari."

"Benar, Bella. Apa lo enggak curiga sama pengirim paket-paket itu?" tanya Mbak Lidia. "Kan, selama ini enggak ada nama dan alamat pengirimnya."

"Gue sependapat sama Mbak Lidia dan Bang Nusa. Kalau pun dia secret admirer, halah, bullshit, dia enggak akan berlindung di balik paket anonim dan secarik pesan, "Dek begini, Dek begitu.". Dia hanya pecundang yang punya mental penakut! Kalau dia seorang gentlemen, dia akan muncul di hadapan lo."

"Tapi, kan, isi paketnya enggak ada yang aneh-aneh, Edward."

"Aneh sih, enggak. Orangnya yang aneh!"

"Bella, Abang melakukan ini untuk precaution aja. Kehati-hatian. Soalnya, walaupun terlihat enggak ada yang mencurigakan, justru paket tanpa identitas yang datang bertubi-tubilah yang membuat kami curiga."

***

Aku merasa wajar dengan kedatangan paket-paket itu. Tidak ada yang aneh atau mencurigakan. Tapi menurut Edward, bulu kuduknya merinding saat bunga krisan kemarin datang. Bukan bunganya yang membikin dia merinding, tapi isi pesannya.

"... kamu tidak dipertemukan lagi dengan teman yang toksik."

Seakan-akan dia tahu kehidupan masa laluku atau bahkan hadir saat aku mengeluarkan uneg-uneg pada Edward kemarin siang. Lama-lama aku jadi kepikiran. Siapa yang mengirim paket ini? Boneka beruang putih, sendal beruang putih, sekarang bunga krisan.

Ting!

Notifikasi pesan Whatsapp masuk dari Jelita, resepsionis di bawah.

Mbak, Ada kiriman bunga lagi buat Mbak Bella.

Ritme jantungku langsung berantakan. Aku memilih setengah berlari menuruni tangga demi menjemput berita dari Jelita.

"Bella, hati-hati. Itu tangga, bukan lantai datar, demi Tuhan. Jangan lari-lari seperti anak kecil."

Itu Bang Aryo. Aku keburu penasaran dengan paket di bawah dan memilih mengabaikan nasihatnya yang sudah seperti orang tua. Aku membalasnya dengan cengiran pada sosok yang berdiri di ujung tangga teratas saat aku sudah berada di bordes.

"Hai Jelita. Mana bunganya?" Aku sedang tidak mau berbasa-basi dan ingin langsung ke intinya.

"Ini, Mbak."

"Bunga matahari?"

"Iya. Ini orangnya beda lagi sama yang kemarin. Pas aku tanya siapa yang pesan bunga ini, dia jawab enggak tahu. Dia cuma dikasih uang untuk ngantar bunga ini ke sini."

Tanganku tiba-tiba melemah dan terlepas sudah pot kecil itu ke lantai keramik. Tanah berserak, pecahan keramik pot terpelanting, membuat indahnya bunga matahari yang tergeletak di lantai tertutupi ketakutanku yang merayapi dada.

"Ada apa ini?"

Hembusan angin terasa saat Bang Aryo tergesa-gesa sampai di sisiku.

"Mas Aryo, Mbak Bella dikirimin bunga lagi!"

Jelita mengulang pernyataannya mengenai kurir pengantar bunga pada Bang Aryo. Aku terpaku melihat bosku memungut sebuah kertas putih dengan gambar beruang kutub di pinggir-pinggirnya.

Dia pengirim yang sama.

"Aku senang Adek dikelilingi teman-teman yang suportif, tapi jangan terlalu percaya mereka seratus persen ya, Dek. Terkadang mereka hanya iri sama kamu dan membuat kamu mencurigai barang-barang kirimanku. PS: dulu Adek senang banget menunggu bunga mataharinya mekar dan mengumpulkan kuacinya. Rawat bunganya ya, Dek, supaya bisa kamu ambil kuacinya."

Usai Bang Aryo membaca pesan, kami berdua saling mencari mata masing-masing, bergeming pada pijakan kaki, meski aku tahu kami berdua sedang berpikir keras siapa yang mengirim bunga menakutkan itu.

"Kemarin dia berharap aku enggak dipertemukan lagi dengan teman toksik yang secara kebetulan, siang itu aku dan Edward sedang membahas masa laluku yang dirundung oleh teman SMA. Sekarang, dia seolah-olah tahu aku memang dikelilingi teman-teman yang suportif, tapi mencurigai barang-barang pemberiannya."

Lihat selengkapnya