Aku tahu dia memang suka bicara apa saja yang ada dalam pikirannya. Dia juga tidak segan-segan membuka diskusi terbuka untuk topik apa pun. Namun, aku tidak habis pikir pria macam Bang Aryo terlalu ... talk active. Saking aktifnya dia bicara, jatuhnya lebih ke ngomel-ngomel.
Mengapa aku melabeli bosku demikian? Soalnya cerewetnya minta ampun. Sejak keluar dari parkiran hingga kami sampai di lantai satu Kokas, dia menyalahkan keputusanku untuk memakai mobil masing-masing menuju Mall Kota Kasablanka.
"Aku bilang juga apa? Mending satu mobil. Mobil kamu ditinggal di kantor aja, jadi enggak double macet-macetannya. Yang pusing cari parkir cukup aku. Aku juga punya temen ngobrol waktu di jalan apalagi jam pulang kantor yang macetnya minta ampun. Kalau pergi sendiri-sendiri—,"
"Tapi aku enggak mau. Titik. Period." potongku.
"Kenapa, Bells? Beri tahu aku alasannya, biar aku enggak uring-uringan terus kalau nanti aku ajak kamu keluar lagi."
"Bang, buat apa lagi ajak aku keluar? Aku temenin Abang karena di awal aku udah janji. Dan itu juga gara-gara Abang enggak mau terima maafku."
"Ada sejuta alasan aku bisa ajak kamu ke mana saja, Bells. Kalau alasannya sudah habis, alasan paling enggak masuk akal pun bisa aku cari."
What???
Mungkin karena melihat wajahku yang tertekuk, kening mengkerut, bibirku tak sanggup mengatup, Bang Aryo tertawa lepas di tengah keramaian Mall Kokas.
"Jadi, kenapa kamu enggak mau semobil denganku?" Tangannya mengarahkan kami masuk ke toko alat-alat rumah tangga yang ruangannya bernuansa kayu.
"Aku lebih nyaman sendiri."
Dia berhenti di rak gelas dan mengambilnya satu. "Kamu ... enggak nyaman denganku atau ... enggak nyaman sama ... laki-laki pada umumnya?" tebaknya sambil memutar-mutar gelas tadi.
Rasanya, Bang Aryo sedang mencoba memanjat dinding privasiku. Lagi.
"Aku hanya enggak nyaman dengan laki-laki jika kami berdua saja di ruangan tertutup."
Aku yakin dia tidak benar-benar memperhatikan gelas yang dipegangnya. Sebab, Bang Aryo tidak meresponku semenit penuh dan hanya bergeming di depan rak gelas. Apa pernyataanku aneh?
"Kalau sekarang? Kamu nyaman jalan berdua sama aku?"
"Biasa aja. Kita sedang berada di ruangan terbuka."
"Aah, begitu. That's a good thing. Kamu bukannya enggak suka dekat aku. Ini jauh lebih penting. Kita akan mencari solusi enggak bisa semobil ini suatu hari nanti."
"Buat apa Abang repot-repot cari solusi segala? Ini masalahku, bukan masalah Abang."
"Lho, akan jadi masalahku juga kalau ... kalau kita berdua nanti ... ehem. Gelasnya jelek." Dia buru-buru meletakkan gelas tadi.
Ya Tuhan. Pria ini benar-benar absurd. "Abang sebenarnya mau cari apa?" Supaya aku bisa segera pulang.
"Tea set atau semacamnya. Aku juga mau cari sofa yang nyaman untuk membaca buku. Nenekku sangat suka membaca sambil minum teh."
"Kita ke Informa cari sofa, kalau bisa sekalian cari selimut hangat yang lembut. Terakhir tea set. Ayo!"
Setelah keluar masuk toko, mengetes segala macam kursi, mengelilingi rak-rak pecah belah, memilih selimut yang lembut dan tidak terlalu tebal, dan membayar semua barang belanjaan (ini Bang Aryo saja), aku menghembuskan napas lega. Akhirnya aku bisa pulang. Yay!
"Kita makan dulu, yuk?"
"Bang, kan perjanjiannya—,"
"Kamu enggak lapar habis 'olahraga' keliling mal? Aku sih, iya."
"Lapar, tapi aku mau nasi goreng kambing yang di Kebon Sirih sana."
Dia membaca jam tangannya di pergelangan tangan kanan. "Bisa, sih, dekat ini. Tapi yakin perutnya masih bisa nahan lapar? Belum lagi macetnya, hal-hal terduga seperti kecelakaan, mobil tiba-tiba mogok, terus—,"
"Kita makan di mana?" pungkasku cepat-cepat. Aku hanya ingin segera pulang. Pria ini benar-benar pintar mencari alasan masuk akal!
Senyumnya langsung mekar, Saudara-saudara!
"Aku dari tadi kepikiran terus sama gurame kecombrang di ground floor."
Kecombrang. Aku mendengkus geli.
"Bukannya Abang menjunjung tinggi makan makanan sehat gluten free?"
Bang Aryo lagi-lagi tertawa lepas dan tidak peduli jadi tontonan pengunjung Mall Kokas. Dia mengarahkanku untuk terus berjalan.
"Pasti Edward yang bilang, kan?" Aku mengangguk. "Dia benar. Kamu tahu, lah, vitiligo adalah penyakit yang berhubungan dengan sistem imun. Aku memang harus jaga pola makan, Bells. Aku hanya berusaha keras memperlambat proses depigmentasinya. Tapi hari ini adalah cheating day aku. Mari nikmati makan malam hari ini."
Di sinilah kami menempati salah satu meja di sebuah restoran bernuansa Indonesia. Lima menit pertama meja makan benar-benar hanya diisi dengan bunyi kunyahan dan decapan aku dan Bang Aryo. Hari yang panjang di kantor dengan segala kejutannya benar-benar menguras energiku: bunga matahari mencurigakan (bunganya aku sumbangsihkan ke Jelita karena terlalu cantik untuk dibuang begitu saja) dan klien rese yang suka merendahkan wanita yang bikin aku ingin mencubit ginjal kirinya. Lalu mengeksplorasi berbagai toko demi hadiah nenek Bang Aryo.
Bang Aryo benar. Aku mungkin tidak akan tahan jika harus menempuh aspal jalanan menuju Kebon Sirih. Sekarang saja aku sudah kalap cepat-cepat mau menandaskan nasi bakar cumi yang super gurih ini.
Astaga. Hampir saja aku melupakan hal penting ini. Sepertinya, nasi cumi bakarnya membuat otakku kembali berfungsi penuh.
"Kok Abang bisa telepon Mama?"
"Karena punya nomor Tante Dini."
"Itu juga aku tahu." Rasanya bola mataku berputar otomatis, membuat Bang Aryo terkekeh. "Maksudku kapan kalian tukaran nomor HP? Kok bisa? Dalam rangka apa kalian sampai butuh berkorespondensi segala?"
"One question at a time, Bells." Dia mencomot tahu sumedang dan melahapnya dalam keadaan utuh.
"Jawab aja kenapa, sih?" dumelku.