Ketika Bang Aryo mengiyakan permintaan Mama malam itu di restoran, kepalanya membesar, lubang hidungnya bertambah lebar, dadanya membusung ke depan, dan dia langsung berlagak seperti bodyguard. Apa yang dia pikirkan, sih? Dia tidak perlu menganggapku sebagai si Swan yang kulitnya transparan dan mempunyai darah termanis yang harus dilindungi dari vampir-vampir kehausan. Just act like Bang Aryo used to be. Dia bosku, teman kecilku, bukan pengawal pribadiku.
Mengapa aku bilang Bang Aryo berubah? Karena keesokan harinya, dia langsung memasang perangkat CCTV baru di setiap sudut Cuddle Your Heart hingga di halaman depan dan memberikan tambahan tugas untuk satpam yang berjaga di depan kantor agar lebih waspada terhadap satu orang: Didit.
"Kenapa kita nambah banyak CCTV, Bang? Cuddle Your Heart bukan lembaga keuangan yang perputaran uangnya bisa M-M-an tiap bulan." Edward membuka topik pembicaraan sebelum briefing dimulai. Dia menggigit sandwich yang dia bikin sendiri di rumah.
Karena bos lo sedang dalam mode protective, Ed.
"Abang juga enggak tahu. Aryo belum cerita mengenai penambahan ini. Nanti Abang tanya dia." Bang Nusa menaruh sebungkus garlic bread ke tangan kami.
Aku penasaran apa yang akan Bang Aryo ceritakan pada Bang Nusa mengenai pengamanan ekstra ini.
"Pagi Bang Nusa, Mbak Lidia, Edward, Bella." Sesorang datang menyapa kami.
Dia Puspa, Cuddle Buddy yang baru direkrut Bang Aryo. Permintaan reservasi curhat semakin tinggi, jadi tim manajemen memutuskan untuk menambah satu personel profesional lagi, sama seperti Bang Nusa, Mbak Lidia, dan Edward yang sudah berlatar belakang psikologi.
Apa Bang Aryo tidak salah mengambil keputusan saat merekrut aku, satu-satunya Cuddle Buddy yang tidak punya latar belakang psikologi sama sekali?
"Puspa, gue mau dong lihat isi welcome kit lo." Mbak Lidia orangnya memang suka penasaran.
Puspa dengan senang hati membuka kotak putih yang sama yang aku terima lima bulan yang lalu.
"Kenapa, Mbak?" Puspa bertanya karena kening Mbak Lidia mengkerut seperti kulit jeruk.
"Mana bonekanya?"
Aku ikut mencari. Tahu-tahu Bang Nusa dan Edward menambah kerumunan yang mengerubungi welcome kit Puspa.
"Mana ada boneka, Mbak Lidia."
"Bella dapat, kok. Tuh." Telunjuk Mbak Lidia mengarah ke boneka sebesar telapak tangan yang sedang duduk di sebelah layar komputerku.
"Sejak awal aku terima isinya hanya ini, Mbak."
"Sama persis sama punya Abang."
"Gue juga." Edward ikut memberi kesaksian.
"Gue apalagi," tambah Mbak Lidia.
Aku mendapati semua pasang mata membidikku dengan keingintahuan tinggi mengenai mengapa aku satu-satunya Cuddle Buddy yang mendapatkan boneka beruang kutub di dalam kotak welcome kit-nya.
"Gue punya sebuah teori mengenai boneka beruang putih ini."
"Teori?"
Tidak hanya aku yang merasa bingung, Puspa, Edward, dan Bang Nusa juga.
"Seseorang di kantor ini tahu lo suka beruang kutub. Boneka, sendal, kartu ucapan setiap paket yang datang, semua ada hubungannya dengan beruang kutub," jelas Mbak Lidia.
"Satu-satunya orang yang gue kenal di kantor ini sejak awal hanya Bang Aryo, Mbak. Kalau dia mau kasih barang, buat apa pakai kurir segala?"
Lalu kami semua saling bertukar pandang dengan mata menyipit dan mulut terkunci. Kecuali Puspa. Ini hari keduanya berkantor di Cuddle Your Heart. Dia belum tahu apa-apa.
Apa yang aku dan rekan-rekanku pikiran ... tidak mungkin terjadi, kan?
***
Hari hampir usai, tapi aku masih belum mendapatkan klarifikasi mengenai isi welcome kit-ku yang berbeda kepada orang yang tepat, yaitu pemilik Cuddle Your Heart. Sebab, seharian ini Bang Aryo berada Kafe Mujaer Coffee karena renovasi kecil-kecilan di halaman depan. Dan secara kebetulan, tidak ada paket yang datang. Mau tidak mau, kecurigaanku makin naik level.
Aku harus merilekskan pikiranku sebelum menghadapi hari esok dengan datang ke rumah Ibuk. Lagipula sudah lama aku tidak bertandang ke rumah keduaku. Mungkin sekalian makan malam? Aku sudah mengabarkan Mama mengenai kunjunganku ini sebelum datang ke sini.
"Ibuk, anakmu sudah datang."
Ibuk dan Bapak kaget luar biasa saat mendapati kemunculanku di teras rumah mereka. Seperti dugaanku, Ibuk langsung meninggalkan bunga-bunga mataharinya dan segera menyongsong aku. Sebentar, sejak kapan Ibuk menanam bunga matahari? Mungkin hobi baru pensiunan si guru biologi. Aku terkekeh sebelum mencium punggung tangan Ibuk. Kami berpelukan hangat selama setengah menit.
"Udah lama enggak ke sini. Mentang-mentang Rindang enggak tinggal di sini lagi," Ibuk menepuk tanganku gemas. "kamu juga urung ke sini."
"Bella cuma enggak sempat aja, Buk. Kerjaan di kantor baru bikin capek badan dan pikiran. Sampai di rumah maunya istirahat aja." Aku tidak membuat-buat alasan.
Ibu lalu menggandengku erat dan mengajak masuk ke dalam. Sebelum masuk, aku sempatkan diri untuk menyapa Bapak dan mencium tangannya sambil terus merapalkan kalimat, Bapak orang baik, Bapak orang baik.
"Bella, Bella." Tubuhku berjengit kaget saat Bapak mengucek kepalaku gemas. Tahan, Bells. "Sering-sering main ke sini. Semenjak Rindang menikah, Ibuk jadi kesepian."
"Kan ada Bang Teduh, Pak."