Mama tidak melepaskanku sedetik pun setelah mendapati aku dan Bang Aryo jalan bersama. Aku hanya bisa menundanya dua hari karena keesokan harinya, which is pagi ini, Mama kembali mencecarku dengan ribuan pertanyaan tentang kami.
"Ayo dong jelasin hubungan kalian itu kayak apa?"
"Enggak ada yang perlu dijelasin, Ma." Aku berusaha membuat gigiku lebih lunak daripada lidah saat bicara dengan Mama. "Dia bos Bella, teman kecil Bella. Tetangga kita dulu. Hanya itu."
"Kalian memang bos dan staf, tapi enggak ada bos yang minta izin ajak anak Mama ke mal."
"Itu namanya respect. Bang Aryo hanya mau menghormati Mama sebagai orang tua Bella, enggak lebih."
"It's more than just respect, Dek. Aryo punya perasaan beda ke Adek." Mama geregetan sampai menggertakan gigi geliginya yang rapi. "Adek, jangan bikin Mama menderita begini, dong."
"Kan, ada Dokter Andre yang bakal ngobatin Mama. Mama enggak akan menderita."
Mama terdiam, sampai tangannya ikut berhenti mengoles mentega ke atas sepotong sour bread panggang dan menatapku tanpa kata. O-ow. Apakah aku berbuat kesalahan?
Sepertinya aku tidak perlu ketakutan karena telah berbuat kesalahan, karena beberapa detik berikutnya, Mama tertawa sangat lepas. Tawa yang menular, membuat aku ikut tertawa bersama Mama.
"Andre dokter anak, Dek. Sedangkan sakitnya Mama lebih ke sakit psikis karena Adek enggak mau beri tahu Mama tentang hubungan kalian."
"Tapi dia bisa ngobatin kesepiannya Mama, kan?"
"Adek, Adek." Mama mengulum senyum. Jelas benar Mama sedang menyembunyikan perasaannya yang sedang berbunga-bunga di balik wajahnya yang (berusaha) terlihat datar.
"Dia beda berapa tahun sama Mama?"
Mama langsung meletakkan rotinya dan memajukan tubuhnya padaku dari seberang meja. "Kami jomplang banget ya, Dek? Kelihatan banget, ya?" Mama menyentuh wajah tuanya yang tidak keriput. "Dua tahun lagi Mama sudah setengah abad. Sedangkan dia masih terlihat muda," keluh Mama.
"Percaya sama Bella, Mama itu enggak kayak usia 48 tahun. You are way younger than your looks, Ma. Paling kalian cuma dikira beda lima tahun."
"Benarkah?" Mama tertawa malu-malu. Lihat Dirut Amarta Retail ini. Mama sudah seperti ABG yang sedang dimabuk asmara.
"Padahal kami beda sepuluh tahun, loh."
"Apa? Dia semuda itu?"
Mama mendesah seketika. "Mama udah tolak Andre berkali-kali dengan alasan usia adalah penghalang terbesar kami. Namun, dia ... pria yang gigih. Setelah dia mengetahui Mama memimpin Amarta Retail, dia membawa semua aset yang dia punya di hadapan Mama. Propertinya, pekerjaannya di rumah sakit swasta dan pemerintah, praktiknya di beberapa klinik kesehatan berbeda, dan klinik Medika Tirtayasa kepunyaannya. Dia tidak mau 'menempeli' Mama. Intinya dia punya cukup uang untuk menghidupi Mama kelak."
Cerita macam apa ini? Too good to be true, tapi ini terjadi di depan mataku. Maka, hanya ini yang bisa kukatakan setelah kehidupan rumah tangga Mama berakhir tragis.
"Bella selalu berdoa Mama mendapatkan kebahagiaan bersama Dokter Andre. Dan Bella berharap Dokter Andre bisa membahagiakan Mama."
"Thanks, My Love. Sekarang cukup tentang Mama. Cerita, kenapa kamu bisa jalan sama Aryo."
Aku sudah pernah menceritakan alasannya ke Mama ratusan kali. Dan aku akan tetap menceritakan kembali tanpa menambah atau mengurangi konteksnya.
"Bang Aryo minta tolong Bella memilihkan hadiah untuk neneknya, Ma."
"Kalian ... enggak ... berkencan?
"Enggak, Mamaku tersayang. Ma, kenapa sih ngotot banget jodohin Bella sama dia? Bella enggak berkencan atau apalah itu sama Bang Aryo."
"Adek enggak sadar cara dia membela Adek di depan dua perempuan pengunjung restoran waktu itu, berbeda?
"Mama melihat semuanya?" teriakku setengah histeris. "Mama mendengar apa yang perempuan itu katakan?"
"Semuanya, Dek. Adek lihat, kan, Aryo langsung naik darah demi bela Adek?"
Aku mengangguk. "Bella enggak nyangka Bang Aryo langsung marah-marah begitu."