Bayangan Matahari

Steffi Adelin
Chapter #29

Sosok Ayah

Mama mengirim beberapa pilihan psikolog untuk menerapi ketakutanku akan disentuh laki-laki. Mama ingin aku segera sembuh dan menjalani hidup normal, dan kelak menikah dengan seseorang yang aku cintai. Terima kasih, Ma, akan tetapi saat ini aku belum bisa memutuskan apa pun gara-gara isi pesan terakhir si penggemar rahasia. Puspa yang memberi julukan untuk si penggemar rahasia sehingga semua orang mengikutinya.

Aku kangen Adek.

Tiga kata itu membuatku merinding dengan tidak nyaman. Setiap sel tubuhku seakan menyuruhku untuk lari. Namun, lari ke mana? Lari dari Apa? Wujud ketakutanku hanya berasal dari kertas-kertas berisi pesan. Sebagian besar pesan tersebut terkesan bernuansa 'nostalgia' karena dia sering menggunakan kata dulu, seakan-akan orang itu datang dari masa laluku, seakan-akan ... dia terjebak di masa aku masih kecil.

Apa mungkin orang ini berasal dari masa kecilku di Bogor? Siapa dia?

"Argh!"

Aku menghisap dalam-dalam asap racun ini agar pikiranku tenang. Memang, semenjak Bang Aryo mengaku sensitif dengan paparan zat kimia, aku sudah jarang menghisap tembakau. Namun, aku butuh ketenangan instan. Aku jug tahu ketenangan hakiki bukan berasal dari nikotin. Nikotin hanya membuatmu mencandu, bukan menenangkan pikiran, akan tetapi aku terdesak pilihan yang sempit.

Tubuhku mondar-mandir dengan sendirinya di depan gazebo rooftop mengimbangi kacaunya kepala ini. Sejak kapan? Aku tidak tahu, tapi pegalnya kaki ini menandakan sudah cukup lama kakiku menapaki beton. Aku menyerah karena capai dan mengenyakkan pantat di lantai kayu gazebo sambil memijat betis. Saat itulah aku tersadar bahwa aku masih memakai sendal beruang kutub pemberian orang itu. Big yaiks! Buru-buru aku buka sendal kecombrang ini seakan-akan ia bisa menularkan virus mematikan kalau tidak segera dilepas. Aku lempar dengan penuh dendam ke udara.

"Aw!"

Kepalaku berputar ke belakang mencari sumber teriakan tadi dan menemukan pelakunya sedang menggosok kepalanya kesakitan. "Bang Aryo!"

"Aku pikir hujan sandal. Tahunya sandalnya cuman satu."

Dia memungut sandal tak bersalah itu dan membawanya padaku.

"Aku rela bertelanjang kaki daripada memakai sendal itu lagi."

"Aah. Maaf enggak peka."

Bang Aryo duduk di sisi kiriku sejauh satu meter dan langsung membuka sneakers-nya. Dia mendorong sepatu itu ... padaku?

"Pakai."

"Terus Abang yang nyeker?"

"Aku pakai kaus kaki, tapi kamu bertelanjang kaki."

"Baiklah jika Abang memaksa." Otakku sedang tidak mau diajak berdebat dengan Bang Aryo si ahli berdebat. Kakiku masuk ke dalam sneakers kebesaran berwarna beige.

"Kamu ... baik-baik saja?"

"Ck! Mana mungkin aku baik-baik saja setelah cilok dan pesannya datang?"

"Maaf enggak peka lagi."

Sedetik kemudian aku baru menyadari sesuatu. Sepertinya aku menumpahkan kekesalan pada orang yang salah, astaga.

"Aku yang harusnya minta maaf karena udah menuduh Abang. Maaf. Ya ampun, aku juga minta maaf soal ini."

Cepat-cepat aku habisi hidup rokok yang masih tersisa tiga perempat batang ke dalam dompet kulit.

Bang Aryo terkekeh lembut. "Aku maklum, Bells. Kamu lagi panik." Bang Aryo melipat kedua tangannya di dada. "Apa rencana kamu?"

"Sejujurnya, aku enggak tahu."

"Tante Dini sudah tahu mengenai barang-barang yang kamu terima?"

Aku menggeleng lemah.

"Mungkin sebaiknya kamu cerita sama Tante Dini. Siapa tahu beliau punya solusi."

Aku pikir itu bukan ide yang buruk. Toh, Mama sudah tahu masa laluku.

"Bang, dia pasti dekat denganku. Dia tahu kebiasaanku dan makanan kesukaanku waktu kecil. Masalahnya adalah aku enggak mendapat satu petunjuk pun tentang dia." Aku meremas rambut keritingku frustasi.

"Coba diingat lagi, dengan siapa kamu sering menghabiskan waktu saat masih kecil. Saudara? Teman TK? Teman SD? Tetangga? Kamu punya geng bermain? Sering main di fasilitas umum kompleks sama siapa aja?"

Aku mencoba sekuat tenaga menarik ingatan usangku yang gelap dan tidak menyenangkan ke masa kini.

"Masa kecilku ...," Yang tidak bahagia-bahagia amat. "karena Mama cukup sibuk ...," Sibuk bertengkar dengan papa dan sibuk menopang perekonomian kami berdua yang kala itu sangat mengenaskan. "aku hanya bermain di tiga tempat sehingga teman-temanku sangat sedikit. Rumah keluarga Rindang, rumah Bang Aryo, dan rumah ... tanteku."

"Jadi itu sebabnya kamu sangat dekat dengan Rindang."

"Tepat sekali." Aku tersenyum untuk fakta itu.

Lihat selengkapnya