"Mama baik-baik aja?"
Aku bertanya demikian karena sejak mobil Dokter Andre keluar kompleks perumahan hingga kami berada di jalan arteri, Mama duduk dengan gelisah di kursi depan sambil bolak-balik mengecek ponsel pintarnya."
Mobil kreditku mogok dan mesti rawat inap di bengkel. Jadi Mama menawarkan mobil kekasihnya untuk mengantarkan aku ke Cuddle Your Heart. Terima kasih, Dok.
"Ini gara-gara paket yang datang ke kantor kamu dan laporan sekretaris Mama."
Aku sudah menceritakan semuanya ke Mama, membuat Mama langsung menyewa orang untuk mengawasi sepupu bejatku. Nasihat Bang Aryo lagi-lagi benar. Dia seperti tombol hijau yang selalu ditekan karena jawabanmu benar.
"Memangnya apa yang terjadi, Ma?"
"Sudah lima hari ini laporan sekretaris Mama bikin Mama kepikiran. Didit enggak masuk kerja tiga hari berturut-turut. Dua hari ini, dia selalu kehilangan Didit setiap pukul 11.00 sampai 15.00 siang. Terkadang Didit enggak pulang ke kosnya yang di Kramat Jati."
"Mama ngawasin dia sampai ke rumah kontrakannya?"
"Mama cuma mau jaga-jaga."
"Sebenarnya, aku yang menyarankan Dini untuk mengawasi dia, Bella." Dokter Andre menyela. "Aku enggak suka after effect yang muncul setelah bicara dengan dia."
"Dokter pernah bicara dengan Bang Didit?" Ini perkembangan baru.
"Ya. Aku yang minta pada Dini. Dan aku tidak menyukainya bahkan di lima menit pertama kami berbincang. Tatapan matanya, cara bicaranya, there is something about him yang buat aku ... bergidik."
"Masalahnya dia suka out of radar, Dek. Pikiran Mama udah macam-macam."
"Mungkin dia pulang ke Bogor untuk laporan ke balai pemasyarakatan?"
Mama menggeleng pelan. "Dia harus minta izin ke Mama setiap pulang ke Bogor. Itu bagian dari perjanjian kami saat menerima dia sebagai karyawan Amarta."
Mama terdistraksi semenit penuh karena membaca pesan di ponsel pintarnya.
"Pagi ini dia masuk kerja, lapor sekretaris Mama."
Diam-diam aku merasa lega.
***
Edward baru saja keluar dari ruangan gym dengan baju penuh keringat, fasilitas yang tidak pernah aku gunakan selama bekerja di sini. Aku memberikan botol minuman isotonik bersegelku yang tidak jadi kuminum. Dia pasti sangat membutuhkannya daripada aku.
"Makasih."
"Masama. Tumben lo nge-gym siang bolong begini."
"Tadi gue lagi enggak bisa meng-handle emosi setelah keluar dari ruangan curhat, makanya gue lari di treadmill setengah jam. Klien tadi bikin gue pengen ngebogem dia, tapi gue enggak bisa. Gue enggak habis pikir udah mendengar isi pikiran orang macam dia selama 60 menit. Satu jam, Bella! It's so evil." Edward sampai bergidik ngeri. "Rasanya gue pengen minta ke Tuhan untuk mengembalikan waktu berharga gue yang habis sia-sia mendengar dia bicara selama itu."
Baru kali ini aku melihat Edward kewalahan mengatasi emosinya setelah menyelesaikan satu sesi curhat bersama klien. Biasanya hanya sekadar lelah, tidak sampai marah-marah.
"Emang sejahat apa pikirannya, Ed?"
"Disclaimer! Gue bukannya mau ngebeberin isi curhat klien gue, tapi masalahnya otak dan hati gue lagi enggak sanggup nampung isi kepalanya yang ... entahlah, mungkin kriminal? Jahat? Menjijikkan?"
"Ceritain, Ed. Gantian, giliran gue yang mendengar keluh kesah lo."
Tanpa mengatakan apa-apa, aku tahu dia sangat bersyukur atas tawaranku.
Edward menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi dan mulai menggelontorkan unek-uneknya.