Bayangan Matahari

Steffi Adelin
Chapter #31

Cuddle Buddy Spesial

Aku seperti kerbau yang sudah diikat hidungnya oleh pengembala. Patuh, pasrah, takut, dan ingin muntah. Dia membuat kengerianku akan laki-laki sampai pada puncaknya. Frustasi ingin kabur, tapi tubuhku menolak bekerja sama. Ingin berteriak minta tolong pada dunia, tapi pita suaraku mendadak putus. Aku tiba-tiba menjadi bayi yang tak berdaya.

Dia menggiringku ke salah satu ruang curhat di lantai tiga di mana tidak ada satu pun manusia di sini. Oh, terima kasih atas ide membuat ruangan ini kedap suara! Apakah sore ini adalah hari yang sempurna untuk membunuhku? Atau dia akan mengambil harga diriku lagi? Atau, apa???

Bunyi pintu dikunci ikut membunuh harapanku. Pintar. Aku mengacungi jempol setelah dia merusak kamera CCTV di salah satu sudut ruangan. Apalagi yang tertinggal selain pertolongan dari Tuhan pemilik semesta?

Meski kami terpisah jarak satu meter, tapi udara dalam ruangan ini terasa pengap. Pengap dengan udara busuk dari seorang predator seksual yang mengincar diriku, keluarga Rindang, dan membuat Edward kewalahan secara emosi.

"Ini pertama kalinya kita bertemu."

Aku mengangguk seperti robot rusak.

"Kamu masih kenal Abang, kan? Abang agak gemukan, sih. Walaupun kegiatan Abang di lapas banyak banget, tapi ya, gitu, hidup Abang ditanggung negara, jadi harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tinggal makan, tinggal tidur, enggak perlu cari uang."

Dia tertawa lepas, tawa yang merusak gendang telingaku.

Aku masih mengenalinya, tentu saja dari beragam media pemberitaan di internet dan televisi. Mereka tidak akan mau ketinggalan memuat berita seorang predator seksual yang dibebaskan dari 15 tahun masa tahanannya. Semua orang tertarik dengan berita terkini Rudi Harimurti alias Didit. Bagaimana mungkin aku tidak mengenalinya?

Walaupun demikian, dia jauh berubah dari ingatanku 15 tahun yang lalu. Dia bukan lagi Didit muda yang ceria dan tentu saja manipulatif. Dia jauh lebih menakutkan meski garis senyum khas tak lepas dari bibirnya, yaitu senyum jenaka yang dulu membuatku luluh dan mengidolakannya menjadi sosok pengganti papa. Dokter Andre benar. Ada sesuatu dari Didit yang membuatku bergidik.

"Dek, kok kamu enggak bersuara dari tadi? Kamu kayak takut sama Abang. Abang enggak ngapa-ngapain Adek. Iya, kan? Kita hanya duduk santai. Anggap aja Abang sudah mereservasi Adek sebagai Cuddle Buddy spesialnya Abang, mendengarkan curhat Abang."

Aku tidak sudi mendengar curhatannya!

"Saya ... enggak tahu bagaimana nanggepin Abang. Kita ... udah lama enggak ngobrol."

"Aah ...." Dia berlagak tercerahkan akan sesuatu. "Bagaimana kalau kita mulai dengan, Dek, apa kabar?"

"Saya enggak ada urusan sama Abang untuk sekedar bertanya kabar."

Wajahnya mengeruh, sedikit, tapi dia berusaha menyembunyikannya.

"Kamu ... berubah, ya? Sedikit lebih ... berisi dan seksi."

Kecombrang sialan!

"Abang enggak berhak mengomentari tubuh saya. Satu lagi, saya juga enggak penasaran sama sekali dengan curhatan Abang.

"Ouch!"

Dia berlagak kesakitan dan memegang dada kirinya. Tidak ada yang lucu!

"Oke-oke." Dia mengangkat kedua tangannya seakan-akan sudah menyerah. "Gimana hadiah yang Abang kasih? Dipakai, kan? Ya, semacam hadiah selamat bertemu kembali dari Abang. Lima belas tahun waktu yang enggak sebentar."

"Saya membuang SEMUANYA."

Pipi kirinya berkedut samar. Senyumnya hilang selama dua detik. I knew it. Topeng aslinya mulai terbuka.

"Wah, itu lebih menyakitkan lagi. Kamu enggak menghargai pemberian Abang, Dek."

Suara ramahnya perlahan memudar, yang membuat ujung-ujung jemariku mendingin karena was-was.

"Saya enggak minta diberi hadiah."

"Timbang terima, pakai, dan ucapkan terima kasih. Simple, kan, Dek?"

"Saya enggak mau memakai barang pemberian Abang, makanya saya buang!"

"Termasuk boneka kesukaanmu?"

"Termasuk boneka kesukaan saya!"

Lihat selengkapnya