Bayangan Matahari

Steffi Adelin
Chapter #32

Epilog

Air matanya luruh saat membelai rambut keriting putrinya yang cantik. Meski masih membenci mantan suaminya, tapi dia tidak akan menyesal telah memiliki seorang putri yang memiliki gen terbaik dari mereka berdua. Lihatlah hasilnya. Perpaduan dia dan mantan suaminya menghasilkan seorang Isabella Amarta yang cantik, manis, dan pipi chubby-nya begitu menggemaskan.

Kelopak mata si putri tidur menggeletar membuka. Tidurnya terganggu oleh suara isak yang masuk ke mimpinya serta usapan lembut yang terus dia rasakan di pergelangan tangan, tepat di atas keloid usang bekas kebodohannya dahulu. Ah, berkat keloid itu pula isakan yang sama meraung dan menggema di salah satu bilik IGD rumah sakit. Tidak ada lagi yang namanya waktu yang tepat untuk menceritakan mengapa ada bekas luka di lintangan urat nadinya kecuali saat itu juga.

Maka dari itu, tanpa mencari tahu pun, dia tahu siapa yang sedang menangisinya. Ratapan itu sudah familiar di kupingnya semenjak mereka bertemu dua hari yang lalu di IGD ketika tubuhnya babak belur oleh amukan dendam saudaranya sendiri hingga detik ini.

Ketika si putri tidur mengatakan 'hingga detik ini', dirinya tidak pernah berpisah dari isakan ibunya yang menyedihkan.

Ini tidak bisa dibiarkan, pikir Bella. Dia harus segera menghentikan tangisan Dini yang terlihat menua dengan cepat dalam beberapa hari ini. Dia tidak tega ibunya terus-menerus dirundung lara.

"Mama."

"Adek udah bangun? Gimana keadaan Adek? Lehernya masih nyeri? Badan Adek masih sakit-sakit?" Dini menyeka air matanya dengan tisu yang sudah setengah hancur.

"Bella udah enggak apa-apa, Ma. Mama jangan nangis terus, dong." Tangan bengkaknya terangkat untuk menghapus sisa kesedihan di pipi mulus Dini Ayudia.

Lagi, air matanya sulit untuk dikendalikan. Meski demikian, Dini memaksa dirinya terlihat tegar. "Baiklah. Mama enggak akan menangis lagi," janjinya sungguh-sungguh. Dini menguatkan tekad menahan air kesedihannya tak mengalir lagi, setidaknya di depan putrinya, entahlah jika dia sendirian atau di dalam kamar mandi.

"Ma, dia ... bagaimana sekarang?"

Dini tahu siapa dia yang Bella maksud. "Koma. Setelah keadaannya membaik, Mama pastikan dia tidak akan pernah keluar dari penjara meski Mbak Tati bersujud pada Mama untuk membatalkan tuntutan. Dua jam yang lalu Mbak masih keukeuh minta kamu menutup mata dari kejadian tempo hari. Hah! Mana bisa begitu?"

Bella tidak habis pikir dengan tantenya! "Tante bilang begitu?"

Dini tersenyum masam dan menggenggam tangan putrinya. "Ya. Ini demi anak Mama. Putri yang sudah Mama sia-siakan dan tidak Mama lindungi sekuat tenaga sejak kecil. Mama akan melakukan segala cara untuk melindungi anak Mama sekarang. Maafkan Mama, Nak," mohon Dini teramat sangat.

Bella duduk dengan susah payah dan memeluk ibunya, erat, tak berjarak. Pelukannya berbalas tak kalah rapat. Ah, Bella tak lagi canggung memeluk ibunya. Dan Bella juga tidak mau Dini berlama-lama menyesal, sebab itu hanya akan membuat hatinya sakit melebihi sakit tercekik tangan sepupu bejatnya.

"Bella udah maafin Mama sejak lama," bisiknya. "Mama sudah kembali dan menjadi Mama yang Bella rindukan selama ini. Hanya itu yang penting buat Bella."

"Meski Mama tidak pantas mendapatkan maafmu, Dek, Mama tetap akan berterima kasih."

Setengah menit kemudian, Bella mengurai pelukannya tanpa benar-benar melepas rangkulannya di tubuh Dini.

"Kenapa dulu Mama 'pergi' dari Bella?"

Pertanyaan ini muncul jua ke permukaan. Sepertinya, Dini merasa inilah waktu yang tepat untuk menceritakannya, agar hatinya lega dan pengampunan maaf dari putrinya paripurna.

Wanita 48 tahun itu menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan, sebab sedang menyusun kata-kata terbaik agar alasan bodoh saat masa mudanya dapat diterima anak yang menatapnya penuh harap.

"Mama melakukan perjalanan ke pelosok daerah bukan karena Mama menyukai traveling. Buat apa turun tangan langsung berderma untuk anak-anak yang kurang beruntung, kalau dengan mentransfer uang atau mengirim logistik untuk panti tinggal diurus perwakilan perusahaan? Sedangkan Mama punya seorang putri yang tidak Mama urus dengan benar. Betapa ironisnya hidup seorang Dini Ayudia."

Dini mendengus lemah karena kalimat terakhir. Dadanya bagaikan terhimpit batu kebenaran yang menyesakkan. Napasnya mulai memberat. Sedangkan Bella menggigit bibir dalamnya kuat-kuat, meminta kelapangan dada pada pemilik semesta. Menurut Bella, rasa kebenaran yang sedang dia kunyah sepahit buah mengkudu yang harus dia telan tanpa madu.

"Mama ... hanya melarikan diri dari kebodohan Mama, dari kepecundangan Mama, dari gagalnya Mama menjadi orang tua, dan dari ... Adek."

Lihat selengkapnya