Bayangan Takdir

Farikha Salsabilla Putri
Chapter #1

Gerbang ke Nymira

Gerbang neraka terbuka di Seraphyne. Bukanlah portal yang terbelah di langit, melainkan darah yang merembes di atas bebatuan, jeritan yang membeku di udara musim semi Nymira. Di antara kekacauan yang mengoyak Kerajaan Seraphyne, Putri Anya, seorang remaja berusia lima belas tahun dengan gaun tidur sutra berlumuran debu, tersentak oleh setiap suara. Rambut pirangnya yang panjang, biasanya berkilau seperti benang emas, kini kusut dan tertempel keringat dingin di pelipisnya. Ia tidak mengerti mengapa suara tawa yang memekakkan telinga memenuhi istana, mengapa aroma manis bunga-bunga kini tercampur bau hangus dan logam. Di sampingnya, Pangeran William dari Astellia, yang seusia dengannya, bergerak dengan kecepatan yang mengerikan, jemarinya yang kuat menggenggam erat pergelangan tangan Putri Anya. Napasnya terengah-engah, tetapi matanya, mata yang biasanya menatap Anya dengan kelembutan, kini menyala-nyala oleh kepanikan yang terpendam.

"Lari, Anya! Lebih cepat!" William berbisik, suaranya serak dan putus asa. Kakinya yang panjang melangkah tanpa henti, menyeret Putri Anya melintasi dasar hutan Nymira yang kasar. Duri-duri semak belukar mencabik gaunnya, menggores kulit pucatnya, tetapi dia tidak merasakan sakit. Ketakutan yang membeku adalah satu-satunya sensasi yang ia kenali. Pepohonan menjulang tinggi di atas mereka, dahan-dahan yang gelap menari-nari dalam hembusan angin malam, seolah berduka atas malapetaka ini. Cahaya bulan, yang biasanya menenangkan, kini tampak seperti mata dingin yang mengawasi, memata-matai setiap langkah pelarian mereka.

Tiba-tiba, suara tawa melengking memecah keheningan yang menyesakkan itu. Suara yang lebih mengerikan dari seratus orc yang mengamuk. "Tidak akan ada yang lolos, William! Terutama dia!"

Putri Isolde, wanita dua puluh tujuh tahun yang dulunya bersinar bak mutiara hitam di istana Seraphyne, muncul dari bayangan pepohonan. Gaun hijaunya yang dulu anggun kini terciprat noda gelap yang tak diragukan lagi adalah darah. Rambut hitamnya yang tergerai panjang menari-nari seperti ular di punggungnya, dan di tangannya, pedang ksatria berlumuran merah menyala. Wajahnya, yang pernah memancarkan kecantikan yang memesona, kini terdistorsi oleh dendam yang membara. Matanya yang kejam terpaku pada Putri Anya, tatapan yang mengandung kebencian selama bertahun-tahun.

"Isolde, hentikan!" William menjerit, berhenti tiba-tiba. Ia melepaskan tangan Putri Anya, menarik pedangnya yang berkarat dari sarungnya. "Ini bukan urusanmu! Apa yang kau inginkan?!"

Isolde tertawa, tawa yang tak memiliki kehangatan, hanya kegilaan. "Kau bertanya apa yang kuinginkan? Segalanya! Ayahmu merenggutnya dariku demi wanita itu!" Pedangnya terangkat, menunjuk ke arah Putri Anya. "Wanita itu, ibunya, dan sekarang, putrinya! Mereka telah merenggut segalanya dariku, dan kini, aku akan merenggut segalanya darimu, William!"

Putri Anya, yang kini gemetar di belakang William, berlutut di tanah yang lembap. "Ampun, Isolde! Kumohon!" Suaranya gemetar, air mata membasahi pipinya. "Apa kesalahanku?"

"Kesalahanmu?" Isolde mendekat, langkah kakinya menginjak rumput kering dengan suara berderak yang mengerikan. "Kesalahanmu adalah terlahir! Terlahir sebagai penghalang, sebagai bayangan yang tak diinginkan!" Ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, cahaya bulan memantul pada bilah yang berkilat. William melompat maju, tetapi prajurit Isolde yang tak terhitung jumlahnya menyerbu dari kegelapan, mencegat setiap gerakannya. William bertarung mati-matian, pedangnya berdenting melawan perisai dan armor, tetapi ia kalah jumlah. Ia menjerit nama Putri Anya, suaranya penuh keputusasaan.

Pedang Isolde menembus dada Putri Anya. Darah merah pekat menyembur, mewarnai gaun sutra putihnya menjadi merah marun yang mengerikan. Putri Anya roboh dan tidak berdaya. Senyum tipis terukir di bibirnya yang pucat, bibir yang dulu selalu mengucapkan kata-kata manis. William melihat semua ini, terjebak dalam lingkaran pertarungan yang brutal, tak mampu menjangkaunya. Ia menggeram, kekuatan yang tidak manusiawi mengisi setiap ayunan pedangnya, tetapi semuanya sia-sia.

Tubuh Putri Anya roboh ke tanah, pedang Isolde masih tertancap di dadanya. William menjerit, jeritan yang merobek langit Nymira, jeritan yang membawa semua kesedihan dan keputusasaan dunia ini. Ia berhasil membebaskan diri, menerjang ke depan, mengabaikan luka-luka di tubuhnya. Ia berlutut di samping Putri Anya, menarik pedang itu keluar dengan tangan gemetar. Darah mengalir deras dari luka menganga.

"Anya! Tidak! Bangunlah!" William memeluk tubuh Putri Anya yang dingin. Matanya, yang dulunya penuh kehidupan, kini meredup.

Napas Putri Anya berdesir, tipis seperti bisikan angin. Ia mengangkat tangan gemetar, menyentuh pipi William. "Cintaku … akan … abadi .…" Ucapannya terbata-bata, lalu matanya terpejam, napas terakhirnya berhembus. Jemarinya jatuh lemas.

Lihat selengkapnya