Cahaya pagi menyelinap perlahan ke dalam ruang latihan Istana Astellia, menerangi debu yang menari di udara, seolah setiap partikel membawa bisikan takdir. Sebuah perintah dari Raja Astellia telah turun, sebuah titah yang William terima dengan gurat kekesalan yang samar di rahangnya. Ia kini berdiri di tengah aula yang luas ini, di hadapan Shapira, yang tatapannya memantulkan perpaduan antara kebingungan dan keteguhan yang tak tergoyahkan.
"Apakah Yang Mulia Raja benar-benar berpikir ini adalah ide yang baik?" tanya William, mencoba berbagi pendapat. Ia memandang Shapira, matanya berkelana dari rambut cokelat gelapnya yang tergerai hingga pakaian pelayan sederhana yang membalut tubuhnya.
Shapira mengangkat sebelah alis, membalas tatapan pangeran itu tanpa gentar. "Apakah aku seharusnya menolak perintah Raja? Bukankah itu akan membuktikan dugaanmu bahwa aku mata-mata berbahaya?" ia bertanya, gadis itu tahu benar bahwa setiap gerakannya diawasi, setiap kata yang ia ucapkan akan dianalisis.
William mendengus, melangkah maju. "Kau tahu itu bukan maksudku. Ini membuang-buang waktu. Kau seorang pelayan, bukan seorang putri yang harus berbaur di antara bangsawan," ia melanjutkan, tetapi ada sesuatu di balik nada itu yang terdengar lelah.
"Dan kau seorang pangeran yang diperintahkan untuk mengajariku," Shapira membalas, senyum kecil terukir di bibirnya, sebuah cerminan keberanian yang aneh. "Jadi, mari kita selesaikan ini. Apakah kau akan membuang-buang waktu dengan mengeluh, atau kita akan mulai belajar menari?" Ia mengulurkan tangannya, telapaknya terbuka.
Pangeran Astellia menatap tangan yang terulur itu sejenak, seolah ragu untuk menyentuhnya. Namun, ia tidak punya pilihan. Perlahan, jari-jarinya yang panjang dan kuat meraih telapak tangan Shapira yang mungil. Pada sentuhan pertama, sebuah getaran aneh menjalari lengan gadis itu, seperti ribuan jarum es yang menusuk kulitnya, tetapi disusul oleh kehangatan yang tak terduga. Getaran yang sama juga ia rasakan pada William, yang matanya melebar sesaat sebelum dengan cepat kembali ke ekspresi netralnya.
"Langkah pertama adalah dasar tarian Astellia," William memulai. Ia menarik Shapira lebih dekat, tubuh mereka hampir bersentuhan. "Satu, dua, tiga. Geser kaki ke kiri. Sekarang ke kanan."
Shapira mengikutinya, tetapi gerakannya agak canggung, dan ia tersandung pada langkahnya sendiri. Sebuah tawa kecil lolos dari bibirnya. "Maaf, Yang Mulia. Di duniaku, kami tidak menari dengan cara seperti ini," ia menjelaskan, mencoba membayangkan aula dansa di London, yang begitu berbeda dari kemewahan abad pertengahan ini.
William menghela napas, tapi kali ini ia tidak terdengar kesal. "Dunia ini berbeda, Shapira. Kau harus belajar beradaptasi," ia berkata, dan saat ia meluruskan posisi gadis itu, jari-jarinya menyentuh punggung Shapira. Getaran itu kembali, lebih kuat, menggetarkan inti tubuhnya. Wajah William tampak sedikit lebih lembut sekarang.
"Mungkin jika kau tidak begitu kaku, kau akan terbiasa," Shapira menggodanya, memberanikan diri. "Kau menari seperti seorang prajurit yang sedang berlatih pedang, bukan seorang pangeran yang menuntun pasangannya."
Ucapan Shapira tampaknya mengenai sasaran. Sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, melintas di bibir William. Itu adalah senyum pertama yang Shapira lihat darinya, dan itu mengubah wajah kerasnya menjadi sesuatu yang jauh lebih menarik.
"Berhati-hatilah, Shapira," ia memperingatkan, tetapi ada nada geli dalam suaranya. "Aku bisa saja membiarkanmu terjatuh."
"Aku ragu kau akan melakukannya," Shapira menjawab, mata gadis itu berbinar. "Kau terlihat seperti tipe orang yang terlalu bertanggung jawab untuk membiarkan seorang pelayan terjatuh di aula kerajaannya sendiri."
Dia mendengus lagi, dan kali ini, ada tawa kecil yang menyertainya. Tawa yang jarang terdengar, penuh kejutan. "Kau terlalu berani," ia komentar, tetapi pegangannya pada tangan Shapira mengerat, seolah tidak ingin melepaskan. Pelajaran menari terus berlanjut, dan di setiap sentuhan, setiap langkah yang William tuntun, sebuah benang tak terlihat terjalin di antara mereka, di tengah aula yang megah ini.
***
Suara bisikan itu seperti angin musim gugur yang membawa dedaunan kering, berputar-putar di lorong-lorong istana, mengumpulkan momentum dan menyebarkan racun. Lady Isabelle, dengan senyum manis yang penuh racun, adalah sumber utamanya. Ia berjalan dari satu pelayan ke pelayan lain, memastikan setiap telinga mendengar ceritanya.
"Apakah kalian sudah mendengar?" seorang pelayan bertanya, tatapannya menyapu Shapira yang sedang membawa keranjang cucian di depannya. Matanya dipenuhi campuran rasa ingin tahu dan jijik. "Pelayan baru itu ... Shapira. Kudengar ia adalah mata-mata dari Kerajaan Varkhiel. Anak Isolde sendiri!"
"Astaga, benarkah?" pelayan lain menimpali, menutupi mulutnya dengan tangan. "Tidak heran William memperhatikannya. Siapa tahu sihir gelap apa yang digunakannya?"
Shapira mendengar setiap kata. Tenggorokannya terasa tercekat, tetapi ia menolak menunjukkan reaksi apa pun. Ia menundukkan kepalanya sedikit, terus berjalan, seolah tidak mendengar fitnah itu. Kakinya terasa berat, seolah setiap langkah membawa beban gunung. Ia merasakan pandangan mencemooh dan jijik yang dilemparkan padanya dari berbagai arah. Namun, ia tak akan membiarkan mereka melihatnya hancur. Bukan sekarang.
Gadis itu tiba di dapur, tempat beberapa pelayan berkumpul. Bau rempah-rempah yang hangat dan roti yang baru dipanggang biasanya menenangkan, tetapi kini terasa hampa.
Shapira meletakkan keranjang cuciannya dan berlutut di sampingnya. Tangannya tanpa sadar meraih dahi gadis itu, merasakan panas yang membakar.
"Demam ... perutku sakit," Lila mengerang, matanya terpejam. Pelayan lain menjauh, seolah takut tertular.
"Kalian tidak akan membantunya?" Shapira bertanya, menatap tajam pada pelayan lain.
Seorang pelayan yang tadinya berbisik-bisik menjawab, "Bukan urusan kita. Biarkan tabib istana yang mengurusnya." Nada suaranya dingin, mencerminkan kebencian yang Lady Isabelle tanamkan.
Shapira menggelengkan kepalanya. Ia tahu tabib istana terlalu sibuk dengan bangsawan. Ia ingat beberapa ramuan sederhana yang ibunya pernah ajarkan. Shapira meminta dengan tegas.