Bayangan Takdir

Farikha Salsabilla Putri
Chapter #4

Cinta yang Tumbuh

Pikirannya bagai badai, tak beraturan.

“Anya … apakah itu benar-benar dia?” William bergumam pada dirinya sendiri, di kamarnya. Ruangan ini, yang telah menjadi saksi bisu dukanya selama dua puluh tahun ini, kini terasa diserbu oleh bayangan baru yang menawan. “Bagaimana mungkin ada seseorang yang begitu mirip denganmu?” ia bertanya pada kehampaan, menatap sebuah kalung perak dengan liontin hati yang berukir rumit. Perasaan aneh ini, yang tak pernah ia duga akan muncul lagi, menghantuinya sejak wanita itu tiba. “Jika kau Anya, maka kau telah kembali … tapi jika tidak .…”

Ia menghela napas berat. “Aku tidak tahu harus berbuat apa dengan perasaan ini,” William berucap, lalu jari-jarinya yang panjang menyentuh ukiran mawar di liontin yang usang. Gelang itu, yang juga milik Anya, telah lama ia simpan di dalam kotak kayu tua di laci meja ini. Kini, ia meraihnya, merasakan dinginnya logam yang menyimpan kenangan pahit. “Apa yang harus aku lakukan?” ia bertanya pada dirinya sendiri, mengamati benda itu. “Jika ini benar-benar dirinya, maka … dia harus mengingatnya.”

William berdiri. “Aku harus memberikannya,” ia memutuskan, suaranya pelan di kamar yang sepi ini. Langkahnya mantap, melewati lorong-lorong istana yang familier, menuju kamar Shapira. Pikirannya dipenuhi keraguan. “Apakah ini sebuah pertanda? Atau hanya penderitaan yang aku ciptakan sendiri?” ia bergumam, jarinya mengelus gelang itu. “Aku harap aku tidak membuat kesalahan.”

Di kamar Shapira, William mengetuk pintu.

“Siapa di sana?” Shapira menjawab dari dalam.

“Ini aku, William,” jawab Shapira. “Aku perlu bicara denganmu, jika kau tidak keberatan.”

Pintu itu terbuka perlahan, menampakkan Shapira dengan gaun tidurnya. Matanya yang besar memancarkan kebingungan, seolah ia baru saja terbangun dari mimpi yang panjang. “Ada apa, Pangeran William?” bisik William. “Apakah ada yang salah?”

William melangkah masuk ke dalam kamar. Udara di tempat ini masih terasa hangat, dengan aroma bunga melati yang samar. “Tidak ada yang salah,” katanya. “Aku hanya … ingin memberimu sesuatu.” Ia mengeluarkan gelang perak itu dari balik jubahnya. “Gelang ini … milik seseorang yang sangat berharga bagiku.”

Shapira menatap gelang itu dengan tatapan aneh. “Gelang ini … begitu indah,” ia bergumam, jemarinya perlahan meraih benda perak itu. William memperhatikan saat kulitnya menyentuh logam itu. “Kenapa kau memberikannya padaku?” ia bertanya, tatapannya kini tertuju pada William. “Aku … aku tidak mengerti.”

William merasakan jantungnya berdebar. “Aku tidak tahu mengapa aku harus memberikannya padamu,” William mengakui. “Tapi … kau mengingatkanku padanya.” William melihat Shapira tertegun, tatapannya terpaku pada gelang yang kini ia pegang. “Cobalah kenakan,” pintanya. “Aku hanya ingin melihatnya.”

Shapira menuruti. Ia mengenakan gelang itu di pergelangan tangannya. Saat itu terjadi, sebuah cahaya samar berkedip dari ukiran mawar pada gelang itu, lalu Shapira merasakan gelombang kehangatan yang tak dapat dijelaskan, seolah-olah gelang itu adalah bagian dari dirinya. Matanya terpejam sejenak. “Apa … apa ini?” ia berbisik, membuka matanya, menatap William. “Aku merasa … sangat familiar dengan ini.”

William tertegun. Matanya membelalak. Wajah wanita ini, dengan gelang itu melingkar di pergelangan tangannya, kini begitu mirip dengan Anya, tunangannya yang telah tiada. Lebih dari sebelumnya. “Anya?” William berbisik, nama itu meluncur begitu saja dari bibirnya, sebuah bisikan yang diucapkan tanpa sadar. “Kau … kau sangat mirip dengannya.”

Shapira menatapnya, air mata mulai menggenang di matanya. “Kenapa kau mengatakan itu?” tanyanya. “Siapa Anya itu?” Shapira merasakan gelombang emosi yang kuat, bukan miliknya sendiri, tetapi seolah-olah itu adalah miliknya. Hatinya sakit melihat ekspresi William. “Aku tidak tahu apa yang terjadi,” akuinya. “Aku … aku merasa aneh.”

William melangkah mendekat, matanya tidak lepas dari Shapira. “Aku … aku tidak bermaksud membuatmu takut,” kata William. “Hanya saja … ini terlalu mirip. Perasaan ini … sangat kuat.” Mereka saling menatap, mata mereka bertemu dalam keheningan yang penuh makna. Kata-kata tak terucap melayang di udara di antara mereka, sebuah benang tak kasat mata yang mulai terjalin. “Apakah kau merasakannya juga?” William berbisik, tatapannya menusuk ke dalam jiwanya.

Shapira tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. Rasa takut itu berbaur dengan sesuatu yang lain, sesuatu yang hangat dan akrab. Sebuah perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Lihat selengkapnya