Bayangan Takdir

Farikha Salsabilla Putri
Chapter #5

Ciuman di Bawah Bintang

Udara di istana ini terasa begitu pengap, begitu sesak oleh tatapan dan bisikan tak terlihat. Shapira tahu, ada beban yang perlu dilepaskan. William, dengan tatapan yang lebih lembut dari biasanya, menatap ia, seolah merasakan kegelisahan yang sama. "Mari kita pergi, Shapira," ucap dia. "Ada hutan di luar sana, tempat di mana dinding tidak memiliki telinga."

Shapira melihatnya, lalu bertanya, "Ke mana kita akan pergi, William? Apakah ini aman?"

Ia mengangguk, lalu menjawab, "Kita akan pergi ke tempat yang tenang. Sebuah tempat yang selalu menenangkanku saat tekanan di istana ini menjadi terlalu berat." William melangkah terlebih dahulu, gesturnya mengisyaratkan agar Shapira mengikutinya. Mereka menyelinap keluar melalui pintu samping yang jarang digunakan, melewati taman belakang istana yang gelap, kini hanya diterangi oleh bintang-bintang. Setiap langkah yang mereka ambil terasa seperti membebaskan rantai yang mengikat. Udara malam ini sejuk, menyentuh kulit, memberikan kelegaan. Suara jangkrik mulai terdengar, jauh lebih menenangkan dibandingkan bisikan bangsawan.

"Apakah ini yang selalu Anda lakukan?" Shapira bertanya saat mereka melangkah lebih jauh ke dalam hutan, di mana pepohonan menjulang tinggi seolah memeluk mereka. "Apakah Anda sering melarikan diri dari istana ini?"

Ia berhenti, menatap ke atas, ke arah dedaunan lebat yang menutupi langit, lalu berkata, "Dulu, ya. Terutama setelah … setelah Anya." Suara William kini terdengar jauh lebih rendah, penuh dengan nada yang Shapira kenali sebagai duka.

Shapira melihat ia, lalu bertanya, "Anda ingin bercerita tentang ia, bukan? Putri Anya?"

William membuang napas berat. "Ia adalah cahaya di tengah kegelapan yang menungguku." Ia melanjutkan, "Hidup ini terasa begitu penuh warna saat ia bersamaku. Setiap tawa, setiap senyumnya … seperti melodi yang tak pernah berakhir. Apakah kau tahu perasaan itu, Shapira? Merasakan kehadiran seseorang yang mengisi setiap celah kosong dalam dirimu?"

"Aku … aku bisa membayangkannya," jawab Shapira. Hatinya terasa berat, seolah ia merasakan langsung duka yang William pikul. Ia menatap William, merasakan benang tak kasat mata yang mulai terjalin di antara mereka. Sebuah ikatan yang baru, sekaligus menakutkan, kini mengikat jiwa ia. William kini menatap Shapira, matanya mencari sesuatu, mungkin sebuah pemahaman yang tak terucapkan.

Mereka terus berjalan. Suara dedaunan kering di bawah kaki mereka kini menjadi satu-satunya irama di keheningan hutan. Beberapa saat kemudian, mereka tiba di tepi sungai kecil yang airnya mengalir tenang. William menunjuk ke batu besar di tepi air, mengundang Shapira untuk duduk. Bulan telah naik lebih tinggi, memantulkan sinarnya di permukaan sungai, menciptakan jalur perak yang berkilauan.

William kini duduk di samping ia, bahu mereka hampir bersentuhan. Ia menatap sungai yang tenang, dan berkata, "Dulu, Anya dan aku sering datang ke sini. Kami berbicara tentang impian kami, tentang masa depan yang kami bayangkan bersama. Impian itu kini terasa … begitu jauh." Nada suara William kini mengandung kerinduan yang mendalam.

Shapira melihatnya. "Apakah Anda menyesali sesuatu?"

Ia mengangguk pelan. "Aku menyesali bahwa aku tidak bisa melindunginya." Ia menoleh, menatap Shapira dengan tatapan yang begitu intens, seolah ia melihat masa lalu dan masa kini dalam diri Shapira sekaligus.

Shapira menatapnya, merasakan gelombang emosi yang kompleks di dalam dirinya. "Aku … aku merasakan sebagian darinya," ucap ia, suaranya lirih. William kini perlahan mengangkat tangannya, menyentuh pipi Shapira dengan ibu jarinya. Sentuhan itu terasa seperti sengatan listrik, tetapi lembut dan menghangatkan. William semakin mendekat, matanya memancarkan kerinduan yang begitu dalam, begitu murni, yang Shapira tak pernah melihatnya pada orang lain.

"Shapira," bisiknya, di antara gemerisik dedaunan dan aliran sungai. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan.

Shapira merasakan napas hangat William di kulitnya. Jantungnya berdebar kencang. Ia tahu apa yang akan terjadi, dan tubuhnya, terlepas dari ketakutannya, merespons. Matanya terpejam saat bibir William menyentuh bibirnya. Sebuah ciuman. Lembut, penuh kerinduan, sekaligus terasa begitu asing. Shapira membalasnya sesaat, merasakan percikan api yang membakar di dalam dirinya. Rasa manis, rasa sakit, dan kebingungan kini bercampur menjadi satu.

Lihat selengkapnya