Malam di Jakarta tidak pernah benar-benar sepi. Klakson bersahutan, sirene memecah udara, dan layar iklan raksasa menyalakan warna-warni yang menyilaukan mata. Namun, di antara semua riuh itu, ada suara yang tidak pernah terdengar.
Suara itu berasal dari lorong-lorong sempit yang tak tersentuh cahaya lampu jalan. Lorong yang menyimpan bayangan wajah-wajah kecil, memandang kosong tanpa kata. Mereka pernah tertawa di halaman rumah, pernah berlari di bawah hujan, dan pernah memanggil nama ibunya. Kini, nama itu hilang bersama mereka.
Orang-orang menyebutnya perdagangan manusia. Sebuah istilah dingin, seperti laporan yang dibacakan di ruang sidang, atau headline berita yang cepat terlupakan. Namun di balik kata itu ada napas, ada tangisan, ada jiwa yang tak lagi punya pilihan.
Aku mendengar suara mereka, bukan dengan telinga, tapi dengan dada yang sesak. Aku bukan malaikat, apalagi pahlawan. Aku hanya seorang mantan prajurit, mencoba melupakan dunia yang penuh darah. Tapi malam itu, suara itu kembali memanggil, memaksa aku membuka luka yang lama kupendam.
Mereka yang hilang tidak selalu meninggalkan jejak. Tidak ada tanda di jalan, tidak ada pesan perpisahan, hanya ruang kosong yang perlahan menelan waktu.