Hujan turun deras di Jakarta, membuat aspal mengilap seperti kaca pecah. Ardi duduk di dalam mobil tuanya, menatap wiper yang bergerak lambat.
“Orderan, Bang?” seorang tukang parkir mengetuk kaca, menunduk dari derasnya hujan.
Ardi hanya mengangguk. “Iya, sebentar lagi jalan.” Suaranya berat, nyaris datar.
Ia menyalakan mesin, meraih topi lusuh yang selalu menutupi bekas luka di pelipis kirinya. Luka itu bukan hanya di kulit, tapi di dalam dada yang tak pernah sembuh.
Ponselnya berbunyi, layar menampilkan permintaan penumpang: Rani Jalan Sabang. Ardi menghela napas panjang. Nama yang cantik, pikirnya sekilas, sebelum menarik gas.
Saat mobil bergerak, pikirannya melayang pada hari terakhir di militer: teriakan, dentuman granat, dan seorang rekan yang jatuh di hadapannya. Bayangan itu seperti hantu yang selalu ikut duduk di kursi belakang mobilnya.
“Bang Ardi ya?” suara perempuan memecah lamunannya saat pintu penumpang dibuka.
Ardi menoleh. Seorang perempuan dengan jaket kuning basah berdiri di luar, memegang kamera kecil.
“Iya, masuk, Mbak. Hujannya deras.”
Ia tersenyum tipis, lalu memandangnya lewat kaca spion. Ada sesuatu di mata perempuan itu mata yang tidak takut hujan, dan mungkin… tidak takut bahaya.
Mobil melaju pelan, menembus hujan yang semakin deras. Rani menyandarkan kepalanya sebentar, mencoba mengeringkan kameranya dengan saputangan kecil.
“Kerja di media, ya?” Ardi membuka percakapan seadanya, suaranya datar.
Rani menoleh cepat. “Kok tahu?”
“Kamera itu mahal, biasanya cuma dipakai orang yang serius.”
Ia tersenyum singkat, lalu kembali menatap jalan. Rani memperhatikannya dari kursi belakang; ada sesuatu yang berbeda pada sopir ini. Tatapannya tenang, tapi tegang, seperti seseorang yang pernah melihat lebih dari sekadar kemacetan Jakarta.
“Bang, kalau boleh tahu… dulu kerja apa?” Rani bertanya, nadanya hati-hati.
Ardi terdiam sejenak, jari-jarinya menggenggam kemudi sedikit lebih erat.
“Dulu… beda dunia. Sekarang cuma cari nafkah,” jawabnya pendek.
Rani menatapnya lebih lama, kemudian mengalihkan pandangan ke luar jendela. Hujan menetes di kaca, memburamkan lampu-lampu kota.
“Kau tahu, kadang orang yang diam punya cerita paling berisik,” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.
Ardi sempat melirik melalui spion, bibirnya bergerak tipis, hampir seperti senyum—atau mungkin hanya refleks menahan sesuatu yang ingin keluar.
Di lampu merah, Ardi berhenti. Hujan masih mengguyur, membuat jalanan tampak seperti sungai kecil.
Rani menatap ke spion luar. “Bang, mobil hitam di belakang itu dari tadi ngikut, ya?” suaranya pelan tapi jelas.
Ardi melirik melalui kaca spion. Benar, sebuah SUV hitam dengan kaca gelap berhenti tepat di belakang mereka, meski jalur lain kosong.
“Mungkin kebetulan,” jawab Ardi datar, tapi matanya menyipit. Refleks militer yang dulu mati rasa, kini bangkit pelan-pelan.
Rani memeluk kameranya erat. “Aku… sedang mengerjakan sesuatu yang agak berisiko. Kalau kau mau berhenti di sini, aku bisa turun.”
Ardi menoleh singkat, tatapannya tegas. “Enggak. Kau penumpangku. Kita cari jalan aman.”
Lampu hijau menyala. Ardi membelok ke gang sempit, menguji SUV itu. Benar saja—mobil hitam itu ikut masuk.
“Hm…” Ardi menarik napas panjang, memindahkan gigi persneling. “Pegangan yang kuat, Mbak.”
“Apa yang mau kau”
Mobil Ardi tiba-tiba menambah kecepatan, ban berdecit di aspal basah, meninggalkan percikan air. Rani terhentak ke belakang, matanya membesar.
Ban berdecit tajam saat Ardi membanting setir ke kiri, memasuki gang yang hanya muat satu mobil. Lampu-lampu neon dari warung kecil berkelebat di kaca jendela.
“Bang! Ini jalan buntu?” Rani berseru sambil memegang dashboard.
“Enggak, percaya aja.” Suara Ardi datar, tapi matanya fokus penuh.
SUV hitam di belakang semakin dekat, lampu depannya memantul di kaca spion seperti mata predator.
Ardi menarik napas panjang, menurunkan gigi dan menginjak pedal gas dalam-dalam. Mobil tuanya meraung, melaju melewati becak parkir dan kotak-kotak kayu yang terjatuh.
Rani menoleh ke belakang, wajahnya tegang. “Mereka siapa?”