Seutas cerita sejatinya penuh kejutan. Tanpa aba-aba. Bahkan berdasarkan sains, semesta saja berawal ledakan. Tanpa peringatan maupun susunan acara. Berdasarkan iman? Tak pernah ada ayat kitab suci ihwal penciptaan yang mencantumkan firman, “Yok, siap yoook! Tiga, dua, satu... Selamat datang duniaaaaa!”
Masalahnya, Samitra sudah muak dengan kejutan. Atau kejadian aneh-aneh.
Kuwerkuwerkuwer. Pipi Samitra mengembung-kempis seiring arah kumurannya. Cermin wastafel memantulkan dua sisi rahang menonjol yang bertemu di ujung dagu lancip. Sepasang alis tebal hitam menaungi mata, yang biasanya memperkuat karakter dan ekspresi pemiliknya. Sayangnya, dalam kasus Samitra sama sekali tidak membantu. Sorot mata sang pemuda minim emosi. Raut wajahnya datar. Seakan-akan Tuhan menciptakan dua orang dengan jatah raut wajah yang sama, lalu mendadak berubah pikiran. Satu orang ditambah hingga memiliki ragam ekspresi seperti Jim Carrey. Dan sisanya, adalah Samitra.
Samitra membungkuk dan meludah, hilang dari jangkauan kaca. Namun cermin malah ganti menampilkan sosok yang menyeringai; terselubungi gelap. Hanya sorotan mata dan taring yang terlihat.
Sosok itu lenyap ketika Samitra mengangkat kepala lantas memeriksa deretan giginya. Ini adalah Kegiatan Orang Normal #32 dalam daftar Samitra. Sejauh ini ada 104 poin. Semuanya dilakukan Samitra atas prinsip berpura-puralah sampai jadi. Fake it til you make it.
Bedanya, banyak anak yang—berkat tekanan orangtua--berusaha “jadi orang”. Dengan makna tak jauh dari meraih kesuksesan finansial, prestasi fenomenal, atau menjalani petualangan mendebarkan. Sedangkan bagi Samitra, justru makna harfiahnya yang penting. Jadi orang saja. Orang biasa.
Begitu banyak kisah berawal dengan tokoh utama yang benci rutinitas hidup yang gitu-gitu aja. Lantas berubah drastis saat jatuh cinta, diserang makhluk asing, atau jatuh cinta pada makhluk asing. Samitra kebalikannya. Cita-cita Samitra adalah jadi orang yang rutinitasnya gitu-gitu aja.
Samitra melangkah di koridor ruang tengah, yang berujung ke ruang makan. Di belakangnya, sosok bertubuh kecil melesat lewat. Jekejekejekejek!
Samitra menoleh. Pandangannya hanya bertemu sepi. Lebar koridor yang mencapai dua meter terasa lebih sempit dari biasanya. Tanpa berubah ekspresi, dia lanjut melangkah. Sunyi pun minggir oleh suara kreat-kreot sandal jepit Swallow dekil yang kontras dengan kilau lantai marmer.
Ia memasuki bagian tengah ruang makan yang berisi meja panjang dengan taplak hijau gelap.
Samitra menarik kursi kayu meja makan. Kieeeeeeeeeeet. Tarikan Samitra berhenti. Tapi bunyinya masih lanjut. Ngieeet. Hanya seketuk. Namun jelas, meleset. Seperti dubbing film kung fu tahun 1970-an.
Sang pemuda memandangi kursi seperti guru BK yang kebelet pipis, tapi malah memergoki siswa bolos. Samitra menyentuh kursi lagi, lalu menarik dikit. Kieet. Samitra menggertak pura-pura menarik keras—Kii—tapi gak jadi. Tarik dikit. Eet! Gertak. Gertak. Ki! Ki! Tarik dikit. Tarik dikit. Et! Et! Samitra menarik kursi pelan-pelan sampai lama. Kiiiiiiiiiiiiii—fuuh—eeeeeet!
Samitra mengerutkan kening. Baru kali ini dia menemukan suara kursi yang ambil napas dulu. Ia menggeleng dan duduk. Samitra hanya ingin lanjut ke Kegiatan Orang Normal #5: makan. Di hadapannya sudah terhidangkan makanan urutan tertinggi dalam taraf kenormalan umat manusia: mi instan plus telor orak-arik.
Samitra bahkan sudah hafal ritualnya. Pertama, aduk dulu mi instan yang masih panas hingga uapnya menguar. Kedua, endus-endus. Ketiga, desahkan, “Ah.” Sayangnya, Samitra melakukan semua itu dengan wajah robotik. Secara teknis, “Ah” yang dia ucapkan pun tidak layak disebut desahan.
Samitra mengangguk dan mengacungkan jempol pada diri sendiri. Lalu dia mengeluarkan ponsel dari saku celana. Lanjut ke Kegiatan Orang Normal #12: foto makanan. Barulah dia menyendok mi instannya.
WUUUUSH! Jatuh sosok dari langit-langit. Tep! Mendarat di tengah meja makan. “BRAK!” teriak sang makhluk. Rambut hitam panjangnya tiba lebih lambat, menyelubungi sebagian dirinya. Lantas wajahnya menyeruak ke arah Samitra, bola mata menonjol seperti mau lepas. Mulut membuka, menunjukkan rongga gelap bagai tak berujung. Kemudian berkumandanglah tawa, “AWOKAWOKAWOKAWOKAWOKAWOOOOOK!”
Setelah itu kembali hening.
Samitra menyuapkan sesendok mi dan mengunyahnya. Tidak ada reaksi lain, walaupun sang makhluk fokus memelototkan bola mata kirinya.
PLOP! Bola mata sang makhluk akhirnya lepas dan jatuh ke dalam mangkuk Samitra. Plep.
Samitra berhenti mengunyah.
“Gimana?” tanya sang makhluk dengan suara yang terdengar diberat-beratkan.
Samitra menaruh sendok. “Serem sih nggak. Tapi ganggu.”