Sementara itu, jauh di atas keriuhan ibukota Indonesia, melewati berlapis-lapis awan, ada keributan sendiri.
“WRAAAAAAAAH!” teriak seekor naga hijau khas Jawa; bertubuh panjang seperti ular dan mengenakan mahkota. Namun yang ini memiliki sepasang lengan bercakar dan dari samping mahkota, menyeruak sepasang tanduk yang menyerupai kijang jantan dewasa.
JDAR! Naga Hijau menangkis sesuatu, yang ternyata adalah lecutan ekor seekor naga lain. Dari benturan itu saja, barisan awan di kedua sisi mereka terburai. Seperti perokok vape yang sedang atraksi bikin lingkaran, terus disemprot leafblower. Langit dalam radius lima kilometer langsung bersih.
Baru tampak jelas naga kedua ini tidak bertanduk dan tidak bercakar. Sedangkan mahkotanya lebih besar dan megah. Tubuhnya pun jauh lebih panjang, dipenuhi sisik emas yang niscaya membuat iri penyanyi rap mana pun. Terbangnya meliuk-liuk seperti rambatan ular.
Cakar Naga Hijau menggurah mantra di udara. Melihat ini, Naga Emas langsung meliuk maju. Sisiknya menyala dan bergetar, mengeluarkan suara gemerincing. Cring! Cring! Crek! Crek!
Naga Hijau menggeram dan menyelesaikan aksara yang ia bentuk di udara hingga berpendar. Ia mengangkat kepala dan mengirup energi semesta. SSSHHHHH. Bagai desis kobra yang siap menyerang, leher Naga Hijau menggembung. Ia lalu memuntahkan sebuah bola mustika yang ia cengkeram erat. Cahaya mustika seakan beradu dengan kilauan sisik Naga Emas.
Tubuh Naga Emas tiba-tiba menukik dan melentingkan ekornya. Sapuan energi tajam menghujam ke arah Naga Hijau. Naga Hijau balas menepukkan kedua cakarnya. Bola mustika di tengah genggamannya meledak tanpa suara. Hanya muncul kilasan cahaya menyilaukan yang lenyap seketika.
Gelombang serangan Naga Emas yang mendekat langsung tercerai-berai. Hanya riuh suara yang jelas menunjukkan terjadinya bentrokan yang ganas. FWOFWOFWOFWOFUUUUUU! Dari aliran energi yang tertepis, tampak semacam corong tajam di hadapan Naga Hijau. Seperti ikan melawan arus, kalau ada ikan berbentuk corong.
FWOFWOFWOFWOFWUUUFWOOO. Sejenak hening. Sebelum muncul suara guntur. GLEDAAAAR!
Tampak pecahan medan pelindung di sekitar Naga Hijau seperti beling yang memudar dan lenyap. Wajahnya semakin garang. Naga Emas melayang turun sambil menggeram. Siap untuk ronde berikutnya.
Mendadak, keduanya sigap menghindar. Dua petir menyambar posisi mereka tadi. Diikuti gemuruh. JGEEEER!
Naga Hijau dan Naga Emas meraung ganas ke arah yang sama.
Seorang lelaki paro baya berkemeja batik lengan panjang dan celana panjang hitam sedang berdiri di atas punggung makhluk berbadan singa, berkepala gajah, dan bersayap sembrani. Aliran listrik masih berpijar di lengan kanan sang pria yang mengarah kedua naga.
“Kalau mau berantem, jangan di Bumi,” ucap sang lelaki. Ia menggulung lengan kiri kemeja batiknya agar simetris dengan lengan kanan. Motif batik sekar jagadnya berbentuk rangkaian bunga yang menyerupai jaringan pulau. “Balik ke Dewaloka aja. Atau dari manapun kalian berasal.”
Naga Hijau kembali meraung. Dalam otak sang pria, langsung terdengar balasan, “Bayangkara, kau berani mengganggu pertarungan antarnaga?”
“Bosan hidup?” tambah Naga Emas.
Tunggangan sang Bayangkara menoleh dan mengekeh. Berbeda dengan para naga, dia berbicara seperti manusia, “Mereka tidak mengenalimu, Arya.”
“Mereka juga tidak mengenalimu, Lembuswana,” potong Arya, mengelus-elus jenggotnya yang menyatu dengan kumis dan terlihat tercukur rapi.
Lembuswana masih terkekeh, “Naga sekarang memang kurang gaul.”
“HINAAN? SIAP-SIAP HILANG NYAWA, BAYANGKARA!” raung Naga Hijau.
“KAU JUGA, ANJING PENJAGA!” tambah Naga Emas.