Samitra pulas tidur di bangku kuliah. Pipi kanannya menempel di topangan. Mulutnya sedikit membuka.
Seorang lelaki berkaos abu polos dan kemeja flanel hijau yang tak dikancingkan mendekat, hendak membangunkan. Namun, di saat terakhir, dia melihat bagian lengan baju yang menopang pipi Samitra tampak lembap; entah oleh keringat atau liur. Tangan yang tadinya diarahkan ke bagian itu langsung berganti arah ke bahu.
“Sam!” serunya sambil menepuk bahu keras.
“Ngah!” seru Samitra refleks. Matanya masih setengah terbuka. Melihat sang teman, Samitra otomatis mengucapkan, “Barry. Tanpa nama keluarga.”
Barry garuk-garuk rahang kotaknya, yang diwarnai abu-abu cikal-bakal kumis dan janggut yang terpapas rata. “Bagian keduanya gak perlu loh.”
Samitra mengucek-ucek mata. “Kenapa?”
“Ya aneh, lah!”
“Aneh gimana?”
Barry menunjuk seorang perempuan yang sedang berbicara dengan teman lelakinya di baris ketiga dari bawah. Itu namanya siapa?
Sekali lirik, Samitra langsung jawab, “Gina Arung Angkasa.”
Barry menunjuk teman lelaki di sebelah si perempuan.
“Wijaya Marleno.”
Barry menunjuk diri sendiri.
“Barry. Tanpa nama keluarga.”
Barry membuka lembaran hasil ujian di tangan kirinya, dan menunjuk bagian nama yang hanya bertuliskan “Barry”. “Noh. Orang normal sih nyebutnya Barry aja. Mana ada yang kayak elo?”
Samitra panik. “Padahal gue kan orang normal seperti kebanyakan manusia pada umumnya, ya? Hahahaha.”
Barry memicingkan mata, “Yak, lo makin aneh.”
Samitra menutup mulut. Lalu kembali berbaring. Dan memejamkan mata.
Barry mendengus, “Gak usah pura-pura tidur. Jelas-jelas tadi dah bangun!”
Masih dengan mata terpejam, Samitra menjawab, “Kan bisa aja lagi ngigo, Bar.”
“Ya masa orang ngigo ngedebat? Paling juga ngorok!”
Hening. Lalu terdengar suara ngorok yang dibuat-buat.
“Gak usah dilakuin juga! Telaaat!” Barry kembali menampar punggung Samitra.
Terdengar suara gelak tawa yang renyah.
Samitra langsung terbangun dan menoleh. Wajah seorang perempuan dengan senyum cerah menyambutnya. Barisan giginya tampak rapi, seperti barisan Paskibra yang upacara di Istana Negara. Rambutnya lurus panjang hitam sepunggung dengan ujung-ujung yang melengkung. Mata cokelatnya memantulkan cahaya matahari sore, di benak Samitra seakan berpendar, menunjukkan arah bagi para pelaut di kegelapan.
“Kalian lucu banget,” ucapnya.