Setengah malas, Maya menuju pintu karena bel rumahnya berbunyi. Ini masih jam delapan pagi dan Maya belum mandi. Waktu dia buka pintu, Maya mendapati seorang cowok tersenyum menyapanya. Cowok itu lumayan tinggi, Maya cuma sebatas dagunya saja. Penampilannya kasual, cuma jins biru dan kaus hitam polos. Maya menebak, umurnya masih muda. Mungkin lebih muda darinya.
"Cari siapa, Mas?" Maya perlu memastikan cowok itu nggak salah alamat.
Cowok itu mengulurkan tangan. "Gue Beni, May."
"Ohhhh." Barulah Maya ingat, hari ini dia punya janji dengan Beni. "Ayo masuk. Kita ke ruang tengah aja."
Maya menggiring Beni melewati ruang tamu dan langsung mengarahkannya ke ruang tengah, tempat biasa Maya nonton dan menjamu teman-temannya. Di sana jauh lebih nyaman ketimbang di ruang tamu. Sekeliling rumah bisa langsung terlihat dari sana.
Setelah mempersilakan Beni untuk duduk, Maya pamit sebentar untuk berbenah dan membawa suguhan ringan. Dia bertemu dengan Hana di dapur yang langsung bertanya siapa yang datang sepagi ini.
"Beni, Han." Maya memelankan suaranya. "Gue tambah nggak yakin deh sama debt collector itu."
"Kenapa emang?" Hana ikut-ikutan berbisik.
Maya mendekatkan bibirnya ke kuping Hana. "Nggak ada serem-seremnya."
Hana langsung menahan tawanya. "Emangnya harus serem?"
"Nggak juga sih, tapi si Beni penampilannya kayak dedek-dedek gemes gitu."
Hana terkikik lagi. "Serius lo?"
"Lo lihat sendiri gih, bawain minum atau apa gitu. Gue mau ganti baju dulu bentar." Maya berpesan lalu melipir ke kamarnya.
Hana yang nggak tahu mau menghidangkan apa, memutuskan untuk menghampiri Beni dulu. Dia merasa bertanya lebih baik, selain itu dia juga perlu memuaskan rasa penasarannya. Dia ingin tahu, seperti apa sih debt collector rasa dedek-dedek gemes yang dibilang Maya.
"Halo Mas." Hana menghampiri Beni, cowok itu langsung berdiri. "Gue Hana."
"Beni, panggil Beni aja, ya." Mereka berjabat tangan lalu kembali duduk.
"Lo mau minum apa? Maya lagi ganti baju sebentar."
"Ada kopi nggak?"
"Ada, kebetulan gue sama Maya suka ngopi juga. Jadi kita selalu sedia kopi susu literan."
"Yaudah, itu aja."
"Oke sip. Gue ambilin sebentar, ya." Hana pamit, Beni mengangguk dan tersenyum.
Di dapur, Maya yang sudah selesai berbenah menghampiri Hana yang sedang menyiapkan kopi. Hana langsung mengacungkan jempol, dia membenarkan apa yang dikatakan Maya.
"Lo bener, sama sekali nggak cocok jadi debt collector. Dia lebih cocok jadi seleb Tiktok." Keduanya terkikik.
Setelah siap, mereka langsung menghampiri Beni. Cowok itu sedang fokus dengan iPadnya. Dia langsung menyimpan iPad waktu menyadari Maya dan Hana menghampirinya. Mereka duduk bersebrangan di sofa.
"Sorry kalau gue kepagian datangnya." Beni memberi senyum santun.
"Nggak apa-apa, kita juga lagi kebanyakan waktu luang kok." Maya membalas ramah.
Beni mengambil iPadnya. "Gue udah pelajari data yang lo kirim. Ada 2 target dengan nominal besar yang peluang tembusnya tinggi. Satu, target yang namanya Ivan. Dua, saudara lo yang di Garut itu."
"Maksud lo kemungkinan mereka mau bayar tinggi gitu? Kok bisa? Gue paling pesimis sama mereka soalnya." Maya mengungkapkan keraguannya tanpa malu-malu.
"Lo udah pernah nagih ke Ivan, kan?"
"Pernah, sebelum ngontak lo, gue WA dia dulu."
"Dibalas?"