Tiga hari setelah pertemuan pertamanya dengan Beni, Maya mendapat pesan. Tepat ketika dia baru selesai makan malam sama Hana. Pesan itu bilang, Beni mendapat informasi dan bonus Ivan sudah cair. Beni juga bilang kalau besok pagi dia akan menjemput Maya dan meminta Maya untuk mempersiapkan diri.
"Lo kenapa bengong begitu?" Hana mengamati Maya yang terlalu fokus menatap layar ponsel.
"Uhm... Beni bilang, duit bonus Ivan udah cair, kita bisa nagih dia besok." Maya menjelaskan keadaan.
"Ya baguslah." Jawab Hana, lalu mengelap meja makan. "Goodluck, May!"
Hana melempar senyum, tapi Maya nggak membalas senyum itu. "Gue takut Han."
Hana bisa melihat itu dari matanya. Apa yang akan dihadapi Maya besok barangkali termasuk situasi yang mengerikan untuk ukuran Maya. "Lo nggak sendirian, kan sama si Beni perginya."
Maya nggak jawab apa-apa, tapi bahasa tubuhnya cukup menjelaskan. Hana memilih buat nggak bicara terlalu banyak. Dia sengaja membiarkan Maya melawan dirinya sendiri. Ini bukan waktu yang tepat untuk bertingkah sok bijak dan memberikan aneka motivasi, ini waktunya untuk percaya pada Maya sepenuhnya, setulusnya. Hana cuma bisa harap-harap cemas di dalam hati.
***
"Jadi debt collector ternyata menjanjikan ya. Mobil lo lumayan keren."
"Ini hadiah, gue nggak beli."
"SERIUS LO?" Maya memekik. "Gue ikut gerak jalan aja nggak pernah menang. Hadiah ciki juga jelek melulu. Lo bisa dapet BMW seri 3 gratis?"
"Gue harus berterima kasih sama cicak."
Beni bercerita, dia pernah mendapat klien seorang pengusaha. Wanita empat puluhan itu mulai putus asa karena seorang rekan bisnisnya nggak kunjung bayar utang. Utangnya menyentuh angka 10 Milyar. Nggak ada bukti tertulis karena mereka cukup dekat sebenarnya. Maka diutuslah Beni ke kantor target.
"Hubungannya sama cicak apa?"
"Target ternyata phobia cicak. Gue bawa koper yang isinya cicak. Terus gue tanya baik-baik."
"Tanya baik-baik?"
"Bapak mau bayar utangnya, atau isi koper ini saya tumpahin di badan bapak?" Beni mereka-ulang dirinya saat itu. "Terus dia berdiri sambil gemeteran, buka brankas, dan ngambil sertifikat deposito."
"Bisa-bisanya lo sampai tahu si bapaknya punya phobia apa." Maya geleng-geleng kepala.
"Sebelum nemuin dia, gue ngabisin dua minggu buat ngumpulin informasi sampai nemu titik lemahnya. Bahkan klien gue aja nggak tahu kalau ternyata si target phobia cicak."
"Gimana caranya?"
"Bergaul."
"Tapi lo niat ya ngumpulin cicak sampai sekoper."
"Nggaklah!" Beni tertawa. "Itu cicak mainan kok, gue beli di pasar."
"Hahahaha parah lo!" Maya ikut tertawa. "Tapi emang si Bapak itu nggak teriak?"
"Lo kalau ditodong golok emang bakal teriak?" Beni bertanya balik.
"Nggak juga sih, pasti beku gue." Maya menganggu-angguk.
"Buat si Bapak itu, satu ekor cicak lebih serem dari seratus golok. Tiba-tiba, ada sekoper cicak di depan mukanya. Bisa apa dia?" Beni menjelaskan setenang mungkin.
Mendengar jawaban itu, perasaan Maya campur aduk. Satu sisi, dia agak senang karena dia tahu Beni pandai mencari kelemahan lawan. Itu akan menguntungkan Maya. Di sisi lain, Maya nggak habis pikir, itu cowok licik banget! Maya nggak tahu harus bersikap seperti apa. Untuk sekarang, dia cuma ingin orang-orang membayar utang supaya dia punya modal yang cukup untuk membangun bisnisnya lagi.
"Momen langka nih."
"Maksud lo?"