Siang itu, matahari memilih untuk berleha-leha. Ia menyembunyikan diri dan membiarkan awan memberi teduh untuk bumi. Maya menatap jalan tol dan menggelamkan diri dengan pikirannya sendiri. Beni cuma menyetir dengan baik, dia membiarkan Maya tenggelam. Ini bukan hari yang mudah buat Maya, dia punya hak untuk melamun sejenak.
"Ben, gue nggak tahu ya kita bakal berhasil atau nggak." Maya menoleh dan menatap Beni. "Tapi boleh nggak sih kalau hari ini gue ngerasa keren banget?"
Beni tertawa kecil. "Hahahaha ya bolehlah, harus malah!"
"AAAAAAAA!" Maya melepaskan suara-suara di kepalanya. "Gue nggak nyangka gue bisa sekeren itu tadi!"
"Emang di luar perkiraan, tapi positif." Beni memberi jempol.
"Coba ya kalau tadi direkam, gue pasti keren banget, akting jadi mbak-mbak bengis yang nggak punya hati dan mulutnya tajem." Maya bercerita dengan antusiasme yang jelas terbaca.
"Jujur, gue nggak ngira lo bakal seluwes itu." Beni berterus terang.
"Sama, gue juga hahahahaha." Maya mengaku. "Tadi tuh gue kayak robot tahu nggak? Pikiran sama hati gue kayak ketinggalan di mobil. Waktu turun, gue cuma ngikutin arahan dari lo aja."
"Itu artinya, keinginan lo buat menang jauh lebih besar dari ketakutan lo sama kekalahan atau kesalahan." Beni menyimpulkan. "Itu yang dirasain penyanyi waktu lagi manggung, itu yang dirasain atlet waktu lagi tanding. Mereka bakal secara otomatis total kalaupun sebelumnya grogi abis-abisan. Ada yang menarik lo buat mundur, tapi dorongan lo buat maju jauh lebih kuat."
Maya mencerna jawaban Beni, dia cukup sepakat. Apa yang dijelaskan Beni cukup menjelaskan apa yang dia rasakan. Maya memang belum pernah menagih utang dan dia takut melakukannya. Tapi, dia sangat ingin menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Keinginan itulah yang mendorongnya untuk terus maju meski Maya dihadang ketakutan bermacam-macam.
"Gue boleh nanya nggak?"
"Silakan."
"Kok lo bisa sih, ada di situasi setegang itu dengan muka yang setenang itu? First impression gue sama lo tuh, lo cowok yang sopan, halus, tapi penuh percaya diri. Tapi tadi, gue ngerasa lo tuh bengis-bengis dingin gitu. Kesannya kayak lo tuh bukan yakin menang, tapi lo sama sekali nggak takut kalah gituloh!" Maya nggak tahan kalau nggak mengungkapkan itu.
"Gue udah ratusan kali— mungkin ribuan, ngadepin orang kayak Ivan." Beni terlihat sangat biasa saja menanggapinya, karena itu memang sesuatu yang biasa buat dia.
Maya jadi penasaran, bagaimana rasanya menjalani hidup seperti Beni? Situasi yang menurut Maya mengerikan, bagi Beni adalah kebiasaan. Lamunan Maya terganggu karena ponselnya berbunyi. Maya membuka ponsel, dia menerima notifikasi. Ada dana masuk ke rekeningnya.
"WOOOOHOOOOOO KITA BERHASIL!" Maya bersorak. "HAHAHAHA BEN, SI IVAN BAYAR UTANG, BEN! LUNAS!"
Beni cuma menyetir sambil tersenyum kecil, dia membiarkan Maya menikmati kemnangan kecilnya.
"Sekarang lo percaya kan gue profesional?" Beni cuma memastikan.
"PERCAYA DONG! HAHAHA MANTAP DEDE GEMESKU!" Kali ini, Maya bisa menjawab dengan tegas. Maya nggak mau senang sendirian. Dia langsung mengetik pesan buat Hana.
To: Hana
Hei cantik, kayaknya kita nggak perlu ikut tes CPNS deh hahahahaha
Pesan itu langsung dibaca dan Hana langsung mengetik balasan.
From: Hana
Untunglah, kalau sampai harus ikut kita pasti bakal sedih lagi karena agak mustahil kita bisa lulus hahaha.
Dede gemes lo boleh juga ya, bilangin terima kasih gue ke dia, ya.