Waktu mereka melanjutkan perjalanan ke Bandung, Beni mengira Maya tidur karena kekenyangan. Dia yang sebelumnya agak bawel jadi diam tanpa suara . Beni melirik tipis, ternyata Maya nggak tidur. Cewek itu malah menatap menatap jalan dan bikin Beni penasaran.
"Udah kenyang mendadak bego deh ini manusia." Celetuk Beni. "Mikirin apaan lo May tiba-tiba ngelamun gitu?"
"Gue lega karena kita berhasil bikin Ivan bayar utang, tapi gue jadi kepikiran." Maya menoleh, menatap Beni yang fokus menyetir. "Yang kita lakuin barusan itu bener nggak sih?"
"Kalau lo sibuk nyari kebenaran, lo udah salah sejak awal."
"Kok gitu?"
"Ya karena sia-sia. Kebenaran bukan urusan manusia."
"..."
"Udah lama gue nggak pernah mikirin kebenaran dan kebaikan terlalu dalem. Kayak ngerasa percuma aja kalau setiap mau melangkah yang gue pikirin baik atau buruk, benar atau salah, pikiran gue malah tambah banyak kalau mikirin itu."
Maya agak terkejut waktu mendengar jawaban Beni. Itu bukan sesuatu yang bisa disepakati dengan mudah, tapi dia merasa kalau itu ada benarnya.
"Terus apa? Kayaknya semua orang baru melangkah kalau dia yakin tujuannya udah baik dan bener."
"Gue melangkah untuk menegaskan pendirian. Karena di dunia ini, cuma itu yang paling dekat sama keikhlasan." Beni mematikan AC, menyulut rokok, lalu membuka sunroof mobilnya. "Gue nggak mikirin lagi apa yang gue lakuin itu bener atau salah, baik atau buruk. Yang gue tahu, gue perlu berjalan mencari tempat yang tepat buat gue berdiri, di sanalah gue bisa ikhlas dengan mudah."
"..." Maya berusaha mencerna penjelasan Beni pelan-pelan.
"Ada orang yang milih jadi PNS, ada orang yang milih kerja freelance, ada orang yang milih nggak kerja dan jadi ibu rumah tangga. Kalau lo ukur pakai kebenaran, atau kebaikan, nggak akan pernah ada ujungnya. Tapi kalau orang itu bilang kalau dia akan ikhlas menjalaninya... selesai, itu nggak bisa dibantah."
"..." Maya memilih untuk menyimak tanpa mengomentari apa-apa.
"Orang lain mungkin akan bilang, mending jadi ini, mending jadi itu, tapi kalau dia tegas sama pendiriannya, entah akan baik atau buruk di mata orang, entah akan benar atau salah, kalau dia udah bisa ikhlas menjalaninya, nggak akan ada yang bisa bantah dia lagi."
Maya menatap Beni yang asyik menghisap rokok. Dia tersenyum kecil, cowok di sebelahnya itu mencuri perhatiannya pelan-pelan. Maya nggak pernah nyaman berlama-lama bersama orang asing. Tapi kali ini, dia merasa akan baik-baik saja.
"Ben." Panggil Maya, yang dipanggil cuma mengangkat alis. "Gue cuma mau ngasih tahu, di mata gue lo keren banget waktu ngadepin Ivan tadi." Maya memang murah hati. Dia suka melempar pujian kepada orang-orang yang menurutnya layak. Sayang, dia nggak pernah bisa melempar makian, meskipun dia tahu sebagian orang layak menerimanya.
"Yang keren itu lo, May." Beni tersenyum kecil. "Gue udah biasa ada di situasi kayak tadi. Tapi buat lo pasti asing, kan?"