be Antagonist

Antrasena
Chapter #2

Chapter 1

Denpasar, Juli, 2019.

 

Sebuah mobil memasuki area parkir gedung sekolah bernuansa putih biru dan abu-abu. Seorang gadis dan wanita dewasa keluar dari dalam mobil dan mulai melangkah memasuki lobby sekolah. Papan slogan bertuliskan wijaya sekolah kita, wijaya bangsa kita langsung menyambut begitu mereka memasuki lobby. Dinding putih di bagian atas dan abu-abu di bagian bawah serta pilar biru metalic di empat sudut juga tak luput dari pandangan. Sofa merah tempat tamu menunggu diletakkan menghadap langsung ke deretan lemari kaca setinggi dua meter dan lebar lima meter yang diisi penuh piala prestasi siswa-siswi SMA Wijaya.

Rossa memandangi piala-piala tersebut dengan tatapan kosong tak bersemangat. Baginya setiap sekolah, di mana pun berada selalu memiliki persamaan. Yaitu, hanya mengingat dan mengabadikan prestasi siswa-siswinya. Tak ada sekolah yang benar-benar memperdulikan kehidupan anak didiknnya. Seperti apa perjuangan siswa untuk bertahan hidup di dalam sekolah. Bukankah sekolah adalah rumah kedua? Tapi mengapa sekolah seolah buta dengan kejadian buruk yang selalu ada menghampiri beberapa pelajar. Hingga akhirnya sebuah solusi tak tertulis yang selalu muncul di saat genting dan frustasi adalah … pindah ke sekolah lainnya.

Setelah selesai dengan segala proses perkenalan yang sebenarnya dilakukan oleh Sita, ibunya kepada Lesmana, Waka kesiswaan SMA Wijaya, Rossa menghela napas panjang dan berpamitan kepada ibunya untuk beralih mengikuti Pak Lesmana. Rossa pun melangkah di lorong kelas sambil menggendong sebuah tas berwarna hitam dengan corak silver. Langkahnya berhenti di depan kelas berpapan nama XI IPS 1. Pak Lesmana lebih dulu melangkah masuk dan berbicara kepada ibu guru yang sepertinya baru ingin memulai pembelajaran.

Rossa baru melangkahkan kaki melewati pintu saat Pak Lesmana memanggilnya. Jantung Rossa berdegup kencang. Khawatir, gusar dan gelisah seperti tak mau tinggal dalam pikirannya. Rossa perlahan mengangkat kepalanya untuk memperlihatkan wajah di hadapan tiga puluh satu siswa yang akan menjadi teman satu atapnya selama dua tahun ke depan.  

Pak Lesmana pergi setelah menyerahkan Rossa kepada guru yang dia kenal melalui name tag di atas saku sebelah kiri bernama Mirna. Ibu Mirna pun mempersilahkan Rossa untuk memperkenalkan diri. Rossa tersenyum tipis, lalu memandangi wajah teman-teman barunya. Semua mata tertuju kepadanya. Ada yang tersenyum. Ada yang berbisik. Ada yang menatapnya sinis. Bahkan ada juga yang menatapnya datar. Ini masih hari pertama, tapi rasa insecure sudah kembali menghantuinya.

“Kok, diam? Bisu yah?” ucap seorang siswa laki-laki yang dari kesan pertama dilihat saja sudah tampak aura nakalnya. Tawa siswa lain pun menggema di akhir kalimat tanya siswa itu.

“Nama gue Amanda Rossa. Dipanggil Rossa. Gue pindahan dari Kalimantan. Salam kenal.” Akhirnya Rossa bersuara setelah berhasil menjadi bahan tawa. Rossa kembali menunduk. Sikap pemalunya belum hilang, padahal ia telah bertekad merubah diri. Setelah dipersilahkan duduk oleh Bu Mirna, Rossa langsung berjalan ke arah kursi kosong di barisan pinggir jendela, nomor empat dari depan. Hanya itu tempat duduk yang kosong. Semua telah terisi oleh dua orang siswa.

Rossa melepaskan tasnya lalu menatap ke arah teman sebangkunya. Gadis di sampingnya menoleh dengan senyum yang kuat dan cantik menurutnya. Rossa mengerjapkan kelopak matanya dua kali lalu menunduk sebagai tanda salam dengan canggung. Gadis di sampingnya tertawa kecil. Rossa hanya melirik sekilas. Lalu dengan sangat tiba-tiba gadis itu meletakkan siku kirinya di meja dan menopang dagunya dengan telapak tangan kiri. Posisi tubuhnya menyamping, mengarah kepada Rossa. Tatapannya tajam lengkap dengan bibir yang menyeringai.

“Ternyata lo masih belum berubah,” ucap gadis itu dengan mimik yang sulit diartikan. Tersenyum dengan rasa menyeramkan. Mungkin ini alasan kenapa tidak ada siswa lain yang duduk di sebelahnya. Dan sialnya, kenapa harus Rossa yang berakhir di sampingnya. Rossa dengan segala rasa insecurenya. Mana mungkin bisa melawan aura yang sangat kuat ini.

“Hah? Ma-maksudnya apa yah?” tanya Rossa hati-hati tanpa menoleh. Hanya melirik sekali lalu kembali menunduk.

“Lo gak ingat gue?”

Rossa memberanikan diri menatap teman sebangkunya itu. “Sa-fira?”

“Yeap. Long time no see. Si pengecut.”

 

***

 

Rossa sedang mengantre di kantin sekolah seorang diri. Dia melihat beberapa kelompok siswi memandang ke arahnya lalu berbisik seperti sedang membicarakannya. Ada juga beberapa siswa yang memandangnya intens seperti siap menggoda. Entah mengapa Rossa merasa seperti santapan lezat yang sedang dipandangi banyak hewan buas yang siap menerkam. Perasaannya berkata semua mata tertuju padanya, semua mulut membicarakannya dan semua bisikan masuk mengusik telinganya. Tiba-tiba Safira datang dan merangkul bahu hingga tangannya melingkar di leher Rossa.

“Kok lo gak nungguin gue sih, Kak Ros?” Suara Safira lumayan menjadi perhatian orang-orang yang berbaris menunggu giliran. Kali ini, perhatian yang tertuju padanya menjadi dua kali lipat. Karena risih menjadi pandangi banyak orang dan tak merasa di posisi yang nyaman juga, akhirnya Rossa menyingkirkan lengan Safira perlahan.

“Gue titip nasi campur, ayamnya dada, minumnya jus mangga. Gue tunggu di kursi itu, Oke?”

Rossa mengangguk dengan raut kecut, sedikit tidak ikhlas. “O-oke.” Sabar. Ini masih hari pertama. Besok harus lebih berani.

Setelah memesan makanannya dan makanan Safira, Rossa berjalan menuju kursi yang diduduki oleh Safira. Ia berjalan sambil membawa nampan berisi pesanannya dengan hati-hati. Rasa takut kembali menghampiri. Bayangan dirinya tersandung, disiram minuman dan ditertawakan manusia seisi kantin. Cuplikan ingatan yang berputar layaknya film rusak membuat napasnya terengah-engah. Pandangannya memburam. Tubuhnya hampir limbung bersama seisi nampan, jika saja tidak ada seseorang yang menahannya.

“Lo gakpapa?” tanya seorang siswa. Rossa membaca nama di seragamnya. Gafi Aryo Saputra.

“I-iya.”

Lihat selengkapnya