Be my Pacer in Marathon

Ockto Baringbing
Chapter #4

Menderita

Matahari bersinar terang menyinari kosan Cahya. Membangunkan jiwa yang telah beristirahat dari lelah. Namun bukannya bunyi ayam berkokok yang penuh semangat yang pertama didengar, malah sebuah teriakan minta tolong.

“Cahyaa… Tolong cariin tukang pijit yang oke dong.” Kata Afi sambil tiduran dan menonton konser VFX di kamar Cahya seperti biasa.

“Kakiku masih pegal-pegal,” Keluh Lala sambil menepuk-nepuk pelan kakinya di kamar Cahya. “Kayaknya mesti dipijit nih.”

“Teruuus..?” Cahya terlihat kesal tapi tidak bisa berbuat apa-apa. “Kalau kalian pegal kenapa harus aku yang nyariin tukang pijit?”

“Siapa tahu kalau kamu yang cariin dapat yang bagus, kayak kamu bisa dapat TV besar ini.” Seru Afi.

“Berarti TV ini aku yang dapetin? Bukan karena kalian kan?” Tanya Cahya.

“Berkat kami yang nyuruh,” sela Lala. “Makanya ini kami nyuruh kamu cariin tukang pijit, supaya dapat yang bagus.”

Cahya diam saja mendengarnya dan berusaha tidak peduli karena rasa pegal yang juga dideritanya. Baru mau mengangkat badan saja tubuh sudah gemetar, lalu kemudian satu persatu anggota badan bergetar semakin kencang. Tangan bergetar kencang ketika merangkak untuk menggapai lemari pakaian. Kakinya bergetar kencang ketika berusaha bangkit berdiri untuk mengambil alat mandi, pakaian ganti dan handuk dari lemari. Seluruh tubuh bergetar saat berjalan menuju pintu kamar.

“Kalian tidak mandi?” Tanya Cahya yang sedang membuat gagang pintu bergetar karena ia buka. “Sebentar lagi bukannya jadwal kuliah pagi kalian?”

“Badanku sakit, nggak enak badan, ijin nggak masuk dulu deh.” Celetuk Afi.

“Mesti istirahat dulu supaya nggak kenapa-kenapa ini.” Lanjut Lala.

Cahya kembali diam saja mendengarnya karena sudah malas. Masih ada beberapa meter lagi yang harus ia tempuh untuk mencapai kamar mandi yang ada di belakang dan berharap sedang tidak digunakan orang lain. Cahya berjalan pelan lalu berdiri diam sambil melihat handphone ketika penghuni kosan lain lewat. Cahya tidak ingin terlihat seperti nenek-nenek yang berjalan menggunakan tongkat dan membuat iba para perempuan yang sedang berada jauh dari orang tuanya. Beruntung, Cahya dibiarkan lewat begitu saja dan tidak ada yang bertanya macam-macam, serta kamar mandi sedang kosong.

Air mengguyur memberikan kesegaran pada Cahya. Semua rasa lelah dan pegal langsung hilang semua, rasanya seperti terlahir kembali. Tapi kekejaman dunia langsung menghantamnya kembali saat berjalan kembali ke kamarnya. Kakinya yang masih agak basah membuatnya semakin kesulitan melangkah dan akhirnya terpeleset.

Cahya merentangkan tangan dan berusaha menggapai sebuah tangan di sampingnya. Tangan yang terus membuatnya bertahan ketika oleng. Tangan yang terus menyokongnya hingga sampai ke mobil taksi. Tapi tangan itu kini tidak ada, Cahya pun jatuh terduduk karenanya.

“Kamu tidak apa-apa?”

Cahya langsung semangat begitu mendengar suara itu diiringi kemunculan satu tangan yang hendak menolong. “Aku tidak apa-apa kok Ki…”

Cahya langsung kaget ketika wajah yang dia lihat bukanlah orang yang telah salah dikira sebagai pacar, melainkan penghuni kosan yang sempat ditemuinya sebelum ke kamar mandi. “Dari tadi kamu jalannya sudah aneh, kamu sakit?” tanya perempuan berambut keriting.

“Nggak kok mbak, ini badan pegal-pegal, sakit gitu gara-gara kemarin habis lari di CFD.” Cahya pernah berkenalan tapi lupa siapa namanya, namun untungnya rambutnya bisa jadi ikon siapa orang ini.

“Wooh, kamu biasa lari di CFD? Hebat.”

“Nggak, kemarin itu pertama kalinya. Makanya sekarang jadi kayak orang tua begini karena nggak biasa.”

“Ooohhh, badannya pasti kaget itu tiba-tiba diajak capek.”

“Iya, mbak.”

“Tungguin saja dua-tiga hari lagi hilang kok. Terus habis itu jadi lebih kuat badannya, bisa lari lagi.”

“Eh, gitu yah mbak. Bagus lah, walau aku tidak yakin bakal lari lagi.”

“Loh, kenapa? Lari itu bagus loh, seminggu sekali juga nggak papa.”

“Hahaha, yah kita lihat saja nanti deh.”

Bagaimana mau lari lagi, orang yang pertama kali ngajak lari saja masih santai kayak di pantai. Gumam Cahya ketika ia melihat Afi dan Lala masih leyeh-leyeh saja menonton TV di kamarnya. Cahya yang sudah bersusah payah mandi ini sebetulnya berharap agar kedua temannya itu sudah tidak ada di kamarnya, tapi nyatanya mereka malah semakin malas keluar.

Lihat selengkapnya