Melayang.
Hatinya begitu senang hingga tubuhnya terasa melayang di udara. Di antara pepohonan dan dedaunan, di atas rumput yang tinggi.
Melayang.
Hatinya begitu tenang hingga sinar mentari yang menembus kegelapan hutan rimba mengangkatnya ke udara.
Melayang.
Hatinya begitu riang hingga tangan dan kakinya meliuk-liuk di udara. Hutan yang sepi terasa hidup, dedaunan bergerak akibat terkena aliran udara dari gerakan-gerakan indah yang dilakukannya.
Makhluk cahaya putih itu tampak bahagia sekali, ia meloncat-loncat dan menari di bawah sinar mentari. Hutan rimba yang seharusnya gelap sekan berubah jadi penuh warna. Cahya menggambarnya dengan penuh senyuman.
“Cieee.”
Afi dan Lala menggoda Cahya yang senyum-senyum sewaktu menggambar di atas kasurnya.
“Kayaknya ada yang lagi senang nih,” Seru Afi. “Semalam habis jalan sama cowok ganteng.”
“Dianter pulang sampai kosan,” lanjut Lala. Kenapa nggak sampai kamar saja sekalian?”
“Apaan sih kalian?!” Cahya berusaha menghindar. “Jalan apanya, aku cuman dibawa ke tukang pijit yang bagus supaya badanku jadi enak. Dan benar saja, tukang pijitnya bagus. Kalian kesitu juga deh supaya hilang sakit-sakitnya.”
Afi dan Lala terus saja menatap Cahya penuh godaan, mulut mereka senyum mengganggu. Semua penjelasan Cahya tidak dihiraukan sama sekali.
“Jadi cowok yang tadi malam itu siapa?” Tanya Afi. “Kok rasanya aku pernah lihat yah.”
“Iya, kita lihat dari jendela rasanya kenal deh sama cowok itu.” Lanjut Lala. “Waktu dia ngelepas helmnya dan senyum ke kamu, kok kayak tahu yah.”
“Tapi yang lucunya si Cahya ini langsung masuk ke gerbang kosan.” Kata Afi. “Bukannya ngasih kecupan begitu.”
“Iya, biar capeknya hilang habis nganter kamu.” Kata Lala.
“Kalian ini apa-apaan sih!!” Teriak Cahya berusaha mengakhiri pembicaraan yang membuatnya tidak enak ini.
TING.
Notifikasi di handphone Afi membuatnya memalingkan mata dari Cahya. “Wah, tukang pijitnya sudah di depan!”
Afi dan Lala kemudian keluar dari kamar Cahya yang kebingungan. Tukang pijit?
Afi dan Lala kemudian membawa dua orang ibu-ibu yang mengenakan jaket sama persis.
“Di sini yah bu,” Kata Afi sambil menaruh bantal yang baru diambil dari kamarnya.
“Saya di sebelahnya,” Kata Lala sambil tiduran setelah menaruh bantal yang diambil dari kamarnya juga. “Tenang saja, kamarnya memang terasa sempit tapi masih muat kok. Dempet-dempetan juga nggak papa yah, bu?”
“Iya, kita sih ngikut kalian saja maunya dimana.” Balas salah satu Ibu yang kemudian diamini Ibu satunya lagi.
“Eh, tunggu.” Cahya kebingungan. “Kalian ini mau ngapain?”
“Kok nanya sih? Jelas-jelas kita mau dipijit.” Balas Afi.
“Ini Ibu baru datang setelah kita pesan lewat handphone.” Lanjut Lala. “Jaman sekarang memang canggih, tinggal pencet-pencet bisa datang kesini sendiri. Jadi nggak perlu susah-susah keluar nyari.”
“Iya, Ibu juga jadi enak nunggu di rumah bisa dapat pelanggan.” Balas Ibu tadi sambil menyiapkan minyak racikannya sendiri untuk memijit.
“Kalau memang mau dipijit kenapa harus di sini?!” Teriak Cahya.
“Ya, masa kita mesti ke tempat siapa... yang dibawa cowokmu itu.” Balas Afi.
“Iya, kamu enak ada yang nganterin jadi tinggal duduk.” Lanjut Lala. “Kalau kita mesti nyari ojeg sama nyari tempatnya lagi. Kalau kesasar bagaimana?”
“Bukan itu maksudku!!” Nada suara Cahya semakin tinggi. “Kenapa harus pijit di kamarku?! Kenapa nggak di kamar kalian?!”
“Enakan di sini,” Jawab Afi. “Bisa sambil nonton Oppa.”
“Jadi bisa ngebayangin calon suami kita yang mijitin juga,” lanjut Lala. “Aiih... calon suami...”
“Eh, ini calon suaminya. Ganteng banget.” Timpal Ibu tukang pijit.
“Iya kan bu, ini orang Korea bu. Ganteng-ganteng memang orang Korea!” Kata Afi.
“Ibu jadi pingin ke Korea, nyari suami kayak gini juga.” Balas Ibu tukang pijit.