“Sebagai pacer, aku tidak akan ijinkan kamu lari tanpa pemanasan dulu!!” Teriak Kiki. “Kalau kamu cedera bagaimana?!”
Cahya yang sempat bingung dan takut tiba-tiba merasa tercerahkan.
“Aryo,” kata Kiki ke teman pacernya. “Kamu jalan duluan sama Nadya yah, biar aku temanin dia pemanasan dulu. Terus lari belakangan.”
“Hah? Tapi?” Keluh Aryo.
“Sudahlah...” Kata Nadya mencoba menenangkan Aryo. “Sudah jam segini, kita harus mulai lari sebelum mataharinya makin panas.”
“Oke deh.” Balas Aryo.
Tiap kelompok pace biasanya memiliki tiga pacer yang memimpin, supaya mereka bisa saling mengingatkan bila ada yang terlalu cepat atau terlalu lambat.
“Laah, kok Kiki jadi nggak ikut lari?” keluh salah seorang perempuan.
“Iya nih, yang ganteng itu kenapa jadi nggak lari? Kan jadi hilang semangatnya.”
“Pelan-pelan saja deh kalau begitu larinya.”
Sepertinya di kelompok ini ada banyak perempuan yang ikutan karena tertarik oleh wajah Kiki. Makanya kelompok pace yang dipimpin Kiki selalu memiliki lebih banyak anggota, terutama dari kalangan perempuan. Tapi seorang perempuan yang baru datang malah merebut Kiki dari mereka.
“Pertama kedua tangan mendorong dagu dan mendongakkan kepala ke atas,” Perintah Kiki sambil memperagakannya langsung di depan Cahya.
“Ba.. baiklah...” Cahya mengikuti gerakan yang dilakukan Kiki.
“Hitung sampai delapan,” lanjut Kiki. “Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan.”
Lalu Kiki menengok ke kiri ditopang oleh tangan kanan. “Sekarang gantian kamu yang hitung, Cahya.”
“Hah?” Cahya kebingungan.
“Hitung sampai delapan.”
“Sa.. satu, dua, tiga,” Cahya mulai menghitung pelan sambil mengikuti gerakan yang dilakukan oleh Kiki.
Mereka berdua pun melanjutkan pemanasan dengan mengangkat kaki ke depan dan memegang lututnya hingga setinggi pinggang, lalu telapak kaki diangkat setinggi pinggang dan kemudian ditarik ke belakang menyentuh pantat. Setelah kaki kanan dilanjutkan dengan kaki kiri.
Setelah melakukan peregangan dengan memutar-mutar tubuh dan gerakan lainnya. Kiki duduk dan meluruskan kaki ke depan, merapatkan jari dan menghadap ke atas hingga hanya tumit yang mengenai lantai. Kemudian meluruskan tangan dan membungkukkan badan, mencium lutut. Gerakan selanjutnya adalah melipat kaki kiri dan diangkat ke atas paha kanan, badan dibuat memutar ke arah kiri. Diikuti oleh arah sebaliknya dengan kaki kanan. Cahya terus mengikuti semua gerakan yang diperagakan Kiki dan mereka bergantian menghitung dari satu sampai delapan.
“Oke, pemanasannya sudah selesai.” Kata Kiki sambil berdiri. “Kita mulai larinya, pace 8 saja karena kamu masih baru.”
“Iya, baiklah. Pokoknya aku ikut kamu saja.” Balas Cahya.
Awalnya Cahya hanya ingin mencoba ikut lari Team ORA, tapi malah jadi bisa lari berdua saja dengan Kiki. Terlebih lagi, Kiki sangat memperhatikannya yang datang terlambat dan tidak ikut pemanasan. Kiki rela menemani Cahya pemanasan, padahal seharusnya sudah pergi bersama yang lain di kelompok pace 7.
Cahya memegang dadanya yang berdegup kencang, ia tahu kalau itu bukan karena capek berlari tapi situasi yang membuat mereka lari berdampingan berdua saja.
“Kamu seharusnya tahu, kalau mau lari itu harus pemanasan. Apalagi lari jarak jauh kayak marathon, bisa cedera di tengah jalan kalau tiba-tiba lari. Kena kram lah, otot ketarik lah, ya macam-macam pokoknya.” Kata Kiki sambil lari.
“Iya, maaf,” balas Cahya. “Aku akan lebih berhati-hati selanjutnya. Apalagi aku mau ikut marathon.”
Dua puluh menit berlalu dan mereka sampai di bawah simpang susun Semanggi. Cahya terlihat mulai kelelahan sementara Kiki belum mengeluarkan keringat sama sekali.
“Kita berhenti dulu, water station.” Seru Kiki.
“Hah? Water station?” Heran Cahya yang tidak bisa menyembunyikan wajah lelahnya.
“Kalau di race seperti marathon, tiap 3-5 kilometer ada water station yang nyediain minuman dan buah-buahan. Supaya pelari tidak dehidrasi.”
“Oh... begitu... bisa minum dulu...” Cahya langsung tertunduk kelelahan.
“Bedanya kalau di race dapat minum gratis, di sini harus beli. Hahaha.” Kiki tertawa sambil mengeluarkan uang untuk penjual minuman yang menggunakan gerobak. Ada banyak penjual minuman di sepanjang jalan Sudirman selama CFD.
“Ha... ha...” Cahya ikut tertawa walau pelan.
“Ini,” kata Kiki sambil menyodorkan botol berisi minuman dingin. “Minum dulu.”
“Eh, terima kasih. Berapa?” Cahya menerimanya dan langsung diminum.
“Sudah, tidak apa-apa.”
“Loh, kok gitu?”
“Ayo, lari lagi. Jangan kelamaan istirahatnya nanti keburu dingin lagi badannya. Pemanasan lagi nanti.” Sahut Kiki sambil mulai berlari.
“Tu.. tunggu...” Cahya lalu mulai berlari lagi sambil memegang botol minum yang baru diminum sedikit olehnya.