Cahya duduk bersila di kasur, tangannya dilipat di dada yang agak membusung ke depan, kepala agak mendongak ke atas, dan matanya menatap tajam pada dua temannya. Afi dan Lala berlutut, mengatupkan kedua tangan tanda minta maaf, dan kepalanya agak menunduk walau matanya masih melihat teman mereka yang sedang gemar lari itu. Tidak ada lagu-lagu Korea berkumandang dan para idola yang menari di TV 44 inci seperti biasanya untuk menghormati pemilik kamar.
“Maafin kita yah, Cahya. Gara-gara kita nyeritain macam-macam ke cowok itu, si Raka, kamu jadi kesulitan.” Kata Afi.
“Kemarin dia maksa banget nanya-nanyainnya. Pas kita mau pulang ditahan terus gitu. Sampai dibeliin minuman lagi pula.” Lanjut Lala.
Cahya masih tidak bergeming mendengar penjelasan Afi dan Lala.
“Sudah begitu dia nawarin gambarin aku dan suamiku Kim Un lagi naik kuda bareng, bagus banget gambarnya.” Seru Lala, tiba-tiba saja wajahnya berubah cerah.
“Aku juga digambarin lagi naik motor bareng Kang Sol di jembatan dan langit penuh kembang api.” Lanjut Lala.
Wajah Cahya juga berubah dari tampilan detektif yang sedang menginterogasi menjadi pembeli di minimarket yang kesal melihat antriannya disela ibu-ibu.
“Terus dia juga nawarin buat bikinin boneka Kim Un gitu biar bisa dipeluk-peluk. Dia nunjukin foto contohnya yang pernah dibikin sebelumnya, lucu banget.” Afi terlihat gembira.
“Sudah gitu mau bikin rak khusus buat koleksi DVD dan merchandise VFX yang kita punya. Sudah kayak altar keren pakai lampu-lampu, kalau jadi mau dibikinin standing figurenya Kang Sol juga buatku.” Lala menggoyang-goyangkan tangannya karena senang.
“Dia jago banget ternyata yah, walau rambutnya kelihatan acak-acakan tapi gambarnya rapih banget. Desain-desain yang dia foto juga bagus banget.” Afi dan Lala sahut menyahut dan bergembira bersama.
Kali ini Cahya seperti pembeli yang malah dimarahin ibu-ibu ketika memintanya mengantri sesuai aturan, terpaksa mengalah padahal harusnya bisa saja dia melawan. Cahya memutuskan untuk diam saja setelah melihat Afi dan Lala, sepertinya bahagia sekali. Mereka lupa kalau sebetulnya mau minta maaf.
“Tapi kamu hebat juga, Cahya.” Kata Afi sambil mendekatkan dirinya ke Cahya.
“Hah? Maksudnya?” Cahya mundur karena masih merasa kesal.
“Ada cowok yang lagi dekat sama kamu, terus tambah lagi cowok yang mau mendekati kamu.” Goda Lala.
“Deketin aku?” Cahya berusaha mengelak.
“Itu si cowok keriting jago gambar sudah jelas suka sama kamu. Kalau tidak mana mau dia repot-repot kayak gini, ngasih kita gambar gratis terus nyamperin kamu di Soemantri ampe jadi ada diskusi.” Balas Afi.
“I.. iya juga sih..” Lirih Cahya.
“Aduuh, ada apa ini?! Cahya yang biasanya di kamar saja tiba-tiba ada dua lelaki di dekatnya!” Lala mengeluh, mengangkat kedua tangan ke atas bertanya pada langit-langit.
Rasa kesal Cahya menghilang dan berubah jadi kekhawatiran.
“Jadiii... yang satu jago gambar, cocok sama kamu suka gambar juga terus satu jurusan pula. Dan satu lagi jago lari, cocok sama kamu karena lagi hobi lari dan satu tim sering lari bareng pula.” Goda Afi sambil merangkul Cahya dari samping kanan.
“Kamu pilih yang mana? Yang bisa diajak gambar bareng atau lari bareng? Yang manapun dari segi tampang oke kok dan dua-duanya perhatian sama kamu. Ada yang nolongin training plan dan ada yang bantu tugas kamu.” Lanjut Lala sambil merangkul Cahya dari samping kiri.
Cahya di tengah-tengah terdiam, kekhawatirannya benar terjadi. Pertanyaan ini pasti muncul dari mereka berdua.
“Aku tidak tahu!” Cahya menutup mata berusaha tidak melihat wajah penasaran kedua temannya.
“Tapi kalau kataku sih mendingan yang jago gambar, kayaknya cocok banget kan sama kamu doyan gambar.” Goda Afi.
“Jangan, nanti bosan. Masa kuliah ngegambar, di kosan ngegambar, pacaran ngegambar juga. Mending diselingin lari, jadi pilih si pacer aja.” Sela Lala.
Sepertinya dua orang anggota Effex ini menunjukkan perbedaan cara pandang kalau sudah meyangkut lelaki. Meski pun mereka sama-sama penggemar berat VFX, tapi personil yang menjadi idola mereka berbeda.
“Iih, nanti kalau sudah tua kan jadi bisa gambar bareng. Ngedesain bareng, bikin karya bareng.” Ketus Afi.
“Memangnya kalau sudah tua nggak bisa lari bareng? Marathon bareng?!” Balas Lala.
“Kakinya kan sudah lemah, mana bisa lari lagi.”
“Kalau dilatih terus pastinya masih kuat lari lah. Bukannya justru nanti malah tangannya jadi gemetaran pas sudah tua, narik garis jadi mencong-mencong.”
“Jangan samain kita dengan mereka, sekarang saja langsung mencong-mencong pas gambar!”
Cahya merangkak secara perlahan, meninggalkan mereka berdua bertarung memilih siapa pasangan yang paling cocok untuknya. Ia lebih memilih untuk berangkat kuliah daripada larut dalam perdebatan yang berasaskan asumsi dan persepsi masing-masing.
***
“Baguus!” Pak Nasrul terkagum-kagum melihat ukiran catur dengan desain seperti arca majapahit di mejanya. “Dari gambarmu saja sudah kelihatan oke, ternyata pas jadinya keren banget!”