Be my Pacer in Marathon

Ockto Baringbing
Chapter #20

Diam

“Wah, bagus sekali itu!” Seru Pak Nasrul. “Saya juga suka kesal sama motor-motor itu. Nggak cuman motor, mobil juga suka ada yang parkir di trotoar. Angkot juga suka nyelonong saja ngambil pinggir jalan sampai nggak ada tempat buat jalan lagi.”

“Berarti oke nih, Pak?” Balas Cahya, ia terlihat senang. “Membangun kesadaran masyarakat dalam berkendara?”

“Iya, saya oke. Oke banget malah!” Balas Pak Nasrul.

“Sip, kalau begitu saya buatkan konsepnya dulu yah, pak.”

“Tapi tunggu dulu.” Kata Pak Nasrul menahan Cahya yang mau kembali ke mejanya. “Ide kamu bagus, tapi saya rasa ini akan butuh eksekusi yang berbeda dari biasanya. Out of the box gitu mungkin sebutannya.”

“Out of the box.. oke pak. Nanti coba dipikirkan dulu.” Cahya mengangguk dan kemudian kembali ke mejanya.

Langkah kaki Cahya begitu pelan karena ia memikirkan maksud dari pak Nasrul.

Memang benar sih, kelihatannya menarik gimana bisa mengkampanyekan kesadaran supaya masyarakat tidak naik ke trotoar. Tapi setelah dipikir-pikir, gimana caranya? Harus bikin apa? Kayak gimana? Pikir Cahya.

Setelah duduk di kursinya, Cahya menyalakan gadget dan mulai mencoba membuat sketsa.

Jangan naik trotoar! Tidak Boleh!

Nyetir seenaknya, memangnya jalanan ini punya nenek moyang lo?!

Penguasa jalanan itu seperti monster raksasa, harus dibasmi.

10 menit berselang, kanvas digital di gadget Cahya masih putih bersih. Ia terus menggaruk kepala mencari ide yang cocok, tapi sampai sekarang rasanya tidak ada yang pas.

15 menit kemudian, tangan Cahya mulai melipat di atas meja supaya menjadi bantalan bagi kepalanya yang sudah pening. Tidak ada satupun ide yang keluar dan dirasa menarik. Matanya mencoba melirik ke sekitar, berharap yang lain juga mengalami kesulitan supaya dia tidak merasa sendirian. Bola mata Cahya bergerak pelan hingga Raka berada dalam pandangannya.

Cahya langsung memalingkan wajahnya, merasa malu karena teringat akan pernyataan cinta dari Raka di CFD kemarin. Biasanya Raka selalu datang ke mejanya untuk menanyakan apakah ada yang bisa dibantu, tapi kali ini tidak. Mungkin kakinya masih terasa sakit dan pegal seperti yang pernah Cahya rasakan waktu pertama lari, makanya dia malas bergerak. Atau mungkin Raka tidak ingat perkataannya kemarin. Semua yang keluar dari mulutnya itu adalah ungkapan bawah sadar karena lelah dan kurang minum.

Apapun itu, yang jelas kini Cahya jadi tidak bisa meminta bantuannya lagi. Karena Cahya sendiri juga jadi merasa canggung untuk sekedar menatapnya saja.

Pena digital kembali bergerak di atas gadget, mencoret-coret tanpa membentuk gambar jelas. Cahya berusaha mengalihkan perhatiannya dengan menggambar walau hasilnya tetap menunjukkan rasa bimbangnya terhadap Raka. Garis tidak beraturan menunggu ada kejelasan.

***

Meja di sudut kantin diisi 4 orang seperti biasa, ada yang sibuk menggambar dan ada yang sibuk menerima pesanan.

“Afi, Jong Go itu yang mana yah?” Tanya Raka.

“Hah, yang di band Fourth.” Jawab Afi.

“Ada banyak orangnya, yang mana sih?” Tanya Raka sambil menunjukkan foto hasil mencari di internet.

“Ini loh, yang ini.” Tunjuk Afi pada personil yang berambut merah.

“Oh oke.” Raka langsung kembali menggambar, Jong Go sedang menari di atas awan bagai malaikat.

Suasana kembali hening, tiap orang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Cahya yang sudah cukup banyak mengenal grup idola dari Korea sudah tidak butuh bantuan lagi dalam mengerjakan bagiannya.

“Eh, formasi tangan yang dibentuk boyband TeenEight kayak gimana, Afi?” Tanya Raka.

“Entar dulu yah, aku lagi jawab email.” Balas Afi.

“Lala, yang mana nih? Biar kubikin sketsanya cepat.” Raka beralih ke sebelah.

“Yang ini loh.” Lala dengan cepat mencari dan menunjukkan foto para personil TeenEight sedang membentuk logo infinity ∞.

“Oh, oke.” Raka langsung mendownload fotonya dari internet dan dijadikan acuan sketsanya. “Susah juga yah, ada banyak orangnya sekaligus begini.”

Suasana kembali hening, hanya ada suara dentingan kaca dari gelas yang baru diminum Afi. Jari yang mengetuk-ngetuk meja untuk menghilangkan rasa jenuh. Plastik yang berbunyi ketika risol yang dibungkusnya sedang dimakan Lala. Seperti sedang ujian saja, tidak ada yang boleh bersuara supaya tidak mengganggu.

“Cahyaa!” Teriak Kiki dari kejauhan.

“Eh, Kiki.” Balas Cahya yang langsung tersenyum.

Kedatangan Kiki langsung mengubah suasana.

“Raka, kamu sudah kuliah lagi. Kakimu tidak apa-apa?” Tanya Kiki ke Raka yang masih sibuk menggambar.

“Masih pegal-pegal sih, tapi sudah kutempelin koyo. Cuman dua dan bukan koyo panas supaya nggak kebakar kakiku, haha.” Jawab Raka dengan diakhiri tawa kecil.

“Kalau masih kenapa-kenapa, nanti kuajak ke tukang pijit langgananku.” Kata Kiki.

“Oh, tidak perlu. Nanti aku bisa pesan tukang pijit sendiri kok. Santai.”

“Oke deh kalau begitu, aku pergi dulu yah. Afi, Lala, cabut dulu.” Kata Kiki ke semua yang ada di meja.

Lihat selengkapnya