“Tunggu, bukannya kamu nanti bakal jadi pacer aku di Jakarta marathon?!” Tanya Cahya, ia benar-benar kaget dan panik mendengar Kiki tidak ikut lari di event marathon pertamanya.
“Eh, aku tidak pernah bilang akan jadi pacer.” Balas Kiki.
“Loh, katanya bakal ikutan lari?”
“Aku cuman bilang kalau Team ORA juga ikutan lari. Dan kamu bisa dipacerin Team ORA nanti! Bukan aku yang pacerin kamu.”
Cahya terduduk dan tiba-tiba kehilangan tenaga mendengarnya walau makanan yang dibeli di kantin sudah habis ditelan.
“Hahaha, sepertinya terjadi salah paham di antara kalian berdua yah?” Kata Tony. “Kiki sudah tidak pernah ikutan race 5 kilometer maupun 10 kilometer, apalagi yang jarak jauh kayak marathon. Dan dia tidak mungkin jadi pacer karena belum pernah nyelesain marathon.”
“Hah? Masa iya?” Cahya kaget.
“Yes,” Balas Rachel. “Salah satu syarat jadi pacer itu harus sudah punya catatan waktu ofisial di race. Lalu hanya boleh ngepacerin lari dengan pace di bawah waktu terbaiknya.”
“Waktu terbaik gimana?” Tanya Cahya lagi.
“Misalkan aku pernah finis marathon dalam 3 jam dengan pace 4, itu adalah catatan waktu terbaikku. Lalu kalau jadi pacer aku hanya boleh mengambil bagian di pace 5 atau 6. Tidak boleh jadi pacer 4 karena belum tentu aku sanggup melakukannya.” Jelas Tony.
“Kayak aku bisa nyelesain marathon dengan waktu 4 jam lebih di sekitar pace 5,” Kata Aryo tiba-tiba membantu menjelaskan. “Jadi aku sebaiknya ngambil pacer lari marathon di total waktu 5 jam keatas, sekitar pace 6 dan 7.”
“Nah iya, kalau tidak ada catatan waktu ofisial ya tidak bisa jadi pacer.” Lanjut Tony. “Kecuali ya jadi pacer tidak resmi sih, hanya lari bareng kamu saja. Buat bantu kamu nentuin mau lari di pace berapa, ngebantu banget sih memang.”
“Nah itu bisa, jadi pacerku saja.” Kata Cahya.
“Masalahnya dia mau ikut marathon tidak?” Balas Tony. “Sudah berapa kali kuajak selalu tidak mau.”
Cahya lalu menengok ke Kiki yang hanya menunduk terdiam. Aryo dan lainnya juga memperhatikan Kiki, berharap ada jawaban darinya.
“Ayolah Kiki, paling tidak ikut lari marathonnya supaya aku ada temannya.” Kata Cahya.
Kiki masih diam dan menunduk. Beberapa saat kemudian dia mulai mendongakkan kepalanya dan berkata, “Sepertinya nggak dulu deh.”
“Looh, kok gi—”
Sebelum Cahya sempat mengeluh lagi, Tony langsung menghalanginya. Rachel pun mengedipkan mata ke Cahya berharap dia mengerti keadaan Kiki dan memberikan dia waktu.
Kiki dengan tenang membereskan piring dan gelas minuman yang ada di atas meja supaya mudah diambil oleh penjual di kantin. Ia mencari kesibukan lain untuk mengalihkan perhatian dari marathon. Dan juga kekalahannya dari Maul pada adu lari 2 kilometer barusan.
“Kalau sudah selesai semua makannya, kita pulang yuk.” Kata Tony berusaha memecahkan keheningan.
“Yuk.”
“Sudah malam nih, work tomorrow.” Sahut Rachel.
Semua anggota Team ORA mulai membereskan piring-piring bekas makanan, mengambil tas dan ada yang mengenakan jaket untuk pulang. Cahya pun juga memakai jaket karena akan diantar pulang oleh Kiki dengan motor maticnya. Tidak ada perbincangan apapun mengenai marathon dalam perjalanan, kali ini Cahya memilih untuk diam.
***
Suasana ruang kuliah sedang ramai karena banyak yang asistensi ke dosen, Pak Nasrul. Para mahasiswa mengajukan pendapat mengenai ide iklan layanan masyarakat mereka. Namun Cahya malah duduk terdiam di kursinya, ia masih tidak tahu harus membuat konsep seperti apa.
Raka juga terlihat diam saja di mejanya, tidak mendatangi Cahya untuk memberikan bantuan atau sekedar bertanya bagaimana perkembangannya. Ia sibuk mengerjakan tugasnya sendiri.
Cahya berusaha melihat karya teman di sebelahnya, perempuan yang membuat iklan tentang membuang sampah pada tempatnya. Namun sepertinya dia juga kesulitan, kertas-kertasnya penuh dengan coretan gambar tempat sampah dengan berbagai bentuk. Kertas-kertas berserakan dan jatuh ke lantai setelah digulung dan dicoret tanda X besar sebagai tanda ide itu gagal. Sepertinya dia malah membuat sampah tambah banyak dibanding usahanya mengurangi sampah di jalanan.
Cahya pun kembali menatap gadgetnya yang masih berupa layar putih yang merefleksikan bayangan wajahnya yang murung dan kebingungan. Semakin lama dilihat, wajah yang terlihat berubah menjadi wajah Kiki. Cahya jadi teringat pada Kiki yang terus murung di kantin kemarin usai bercerita tentang masa lalunya.
***
Suasana kantin ramai oleh para mahasiswa yang kelaparan, dentingan sendok dan piring menggema dimana-mana. Dan seperti hari-hari belakangan ini, ada satu sudut dimana keheningan terjadi.
Cahya dan Raka masih terlihat diam di mejanya sambil mengerjakan gambar pesanan. Sementara Afi dan Lala juga sibuk membalas pertanyaan calon klien.