Be my Pacer in Marathon

Ockto Baringbing
Chapter #25

Hoax

Suasana ruang kuliah dipenuhi oleh mahasiswa yang sedang sibuk merealisasikan konsep yang ada di kepala mereka menjadi sebuah sketsa di kertas maupun desain di laptop. Cahya yang sebelumnya sempat kebingungan kini sudah menemukan ide dalam mengeksekusi iklannya, ia mewarnai gambar trotoar dimana ada banyak pejalan kaki yang melintas hingga mengular. Sketsa dan penintaannya sudah dikerjakan tadi malam di kosan, namun beleum diselesaikan karena memilih untuk istirahat supaya tidak jatuh sakit.

Satu per satu mahasiswa melakukan asistensi ke Pak Nasrul, ada yang mendapatkan masukan untuk menyempurnakan karyanya dan ada yang ditolak mentah-mentah. Membuat ulang dari awal, itulah yang paling ditakutkan mahasiswa yang sudah begadang mencari ide dan membuat desain.

Rasa khawatir pun memenuhi pikiran Cahya ketika dia mendapatkan giliran untuk mengajukan gambar konsepnya ke Pak Nasrul.

“Jadi dengan orang-orang sebanyak ini jalan kaki jadi bikin motor nggak bisa naik trotoar?” Tanya Pak Nasrul sambil melihat gadget Cahya yang menampilkan gambar dia barusan.

“Iya, selama ini motor bisa seenaknya naik ke trotoar karena mereka ada banyak.” Jawab Cahya. “Begitu ada satu yang naik terus yang lain langsung ikutan. Pejalan kaki hanya satu dua tidak berani melawan rombongan itu dan akhirnya malah minggir.”

“Jadi kamu bikin semacam sekuensial seperti komik dan film, ada 5 gambar.” Pak Nasrul melihat-melihat gambar-gambar Cahya lainnya yang sudah dicetak di kertas. “Gambar pertama orang lagi jalan kaki, lalu kedua motor naik, ketiga pejalan kaki berusaha tetap jalan, keempat pejalan kakinya minggir karena diseruduk banyak motor. Dan terakhir yang menjadi pamungkas adalah motor-motor itu ketahan saat ada banyak orang di trotoar yang melawan dan dengan taglineKalau berani, coba seruduk kami semua!’ Begitu?”

“Iya.. kira-kira seperti itu. Tapi masih bisa diganti juga langsung satu gambar besar tampak dari langit, gerombolan motor yang mau naik trotoar melawan barisan pejalan kaki. Bisa dikasih taglineKalian mengambil jalan kami, kami melawan jalan kalian.’ Seperti yang baru saya gambar tapi belum sempat dicetak.”

Satu persatu gambar Cahya dilihat ulang oleh Pak Nasrul dengan seksama. Dosen DKV ini tampak kebingungan, dan tentu saja Cahya juga jadi semakin khawatir melihatnya.

“Rasanya aneh sih ini,” Kata Pak Nasrul sambil membolak-balik gambar-gambar Cahya. “Kamu kayak ngajak tawuran saja antar pengendara motor dan pejalan kaki. Hadap-hadapan begitu, ya saya lihatnya kayak bersiap mau perang. Bukannya jadi iklan layanan masyarakat tapi propaganda buat perang.”

“Eh?” Cahya kaget. “Ja.. jadi gimana pak?”

“Jadi tolong cari ide lain.”

“Ide lain kayak gimana? Ada usul pak?”

“Loh kenapa jadi nanya saya? Kan ini ide kamu yang ngangkat kendaraan gini-gini. Sudah sana balik, masih banyak yang ngantri tuh.” Ketus Pak Nasrul sambil menunjuk mahasiswa lainnya yang masih mengantri menunggu asistensi di belakang Cahya. “Apa kamu mau ngelawan antrian itu kayak di gambar kamu?!”

“Ti.. tidak pak.” Cahya langsung panik dan berbalik badan pergi. “Saya balik dan cari ide lain.”

“Oh iya Cahya!” Teriak Pak Nasrul.

“Apa pak?” Cahya menengok ke dosennya berharap ada usulan dari dia.

“Kurasa hasil finalnya lebih cocok kalau bukan gambar. Makanya dulu aku pernah bilang kamu harus ‘out of the box’, di luar kebiasaan dan kenyamananmu berkarya.”

“Eh, maksudnya?”

Cahya penasaran maksud dari di luar kebiasaan itu tapi Pak Nasrul sudah sibuk menerima konsep dari mahasiswa lain yang sudah mengantri. Akhirnya Cahya memutuskan untuk kembali ke mejanya, duduk menghela nafas, bersandar dan mendongak ke langit-langit berharap ada ide yang jatuh dari atas.

***

Setelah kebingungan karena tidak mendapatkan ide, Cahya semakin merasa bimbang. Meja di sudut kantin yang biasanya diisi oleh empat orang yang saling bekerja sama dalam sebuah proyek gambar oppa. Kini hanya diisi oleh 2 orang saja yang biasa mengerjakan gambar pesanan, Cahya dan Raka.

“Afi sama Lala ke mana yah?” Tanya Cahya berusaha memecahkan suasana yang hening di antara mereka berdua. “Kok belum datang-datang?”

Raka diam saja, dengan tenang ia mengeluarkan handphone dari kantong celananya. Cahya jadi kesal karena tidak diacuhkan oleh Raka, lelaki yang sudah sering membantunya itu malah sibuk menyentuh layar handphonenya.

TING!

Lihat selengkapnya