“Horee! Akhirnya selesai! Aku tidak punya hutang lagi!!” Teriak Cahya sambil mengangkat tangan ke atas, ia masih memegang gadget dan pena digitalnya. Cahya terus meregangkan badan ke atas hingga akhirnya ia terjatuh ke belakang dan mrebahkan badan di kasurnya.
“Akhirnya aku bisa fokus lari dan kuilah lagi.” Seru Cahya sambil tiduran dan menatap langit-langit kamar kosannya.
Afi dan Lala yang sedang berada di kamar Cahya tidak ikut merayakan keberhasilan temannya itu menyelesaikan gambar pesanan terakhir, tapi malah sibuk dengan urusannya masing-masing.
“Hei, kenapa kalian masih terus saja ngambil pesanan baru?” Tanya Cahya sambil melihat Afi dan Lala yang sedang mencatat serta menjawab calon klien di handphone mereka. “Aku kan sudah selesai.”
“Tenang saja,” Jawab Afi. “Kamu sudah bisa istirahat kok, ini pesanan bukan buat kamu kerjain tapi si Raka.”
“Hah?” Cahya kaget.
“Kemarin Raka bilang tolong tambahin pesanan-pesanannya saja,” Kata Lala. “Dia bakal kerjain apapun itu.”
“Loh, kenapa?” Tanya Cahya. “Bukannya dia cuman bantuin aku doang? Kalaupun masih ada pesanan yang belum dikerjain ya tinggal diselesaiin aja, nggak usah ditambah kan?”
Afi dan Lala langsung menaruh handphone mereka di atas lantai lalu menatap Cahya yang sedang bersantai di kasur.
“Cahya, dia ngerjain ini bukan buat bantuin kamu lagi.” Ketus Afi. “Tapi buat ngelupain kamu.”
“Eh, apa?!” Cahya semakin kebingungan.
“Raka mau ngelupain kamu yang sudah nolak cintanya,” Lanjut Lala. “Dengan cara menyibukkan diri. Ya dengan kerja terus menerus begini, supaya nggak mikirin kamu lagi.”
“Hah? Gitu?” Cahya yang masih rebahan di kasur mulai meringkuk dan mengambil selimut untuk menutupi kakinya.
“Setelah kamu tinggalin di kantin kemarin, waktu kamu tolak itu. Dia langsung nangis terus-terusan sampai malam.” Kata Afi.
“Kita nungguin dia terus di situ, nemenin dia curhat segala macam. Sudah bantuin kamu banyak hal tapi ternyata tidak cukup.” Lanjut Lala.
Cahya menarik selimutnya semakin ke atas hingga hanya kepalanya saja yang terlihat dan berkata, “Berarti kalian memang sengaja nggak muncul yah kemarin?”
“Iya, Raka yang minta dikasihin waktu biar jelas semuanya.” Jawab Afi.
“Dan akhirnya sudah tidak ada yang menggantung kan, walau sakit buat dia.” Lanjut Lala.
Cahya terdiam, mulutnya ditutupi selimut supaya tidak berkata apa-apa lagi.
“Tapi kamu juga jangan terlalu mikirin ini, Cahya.” Kata Afi lagi. “Justru kamu harusnya tenang karena satu masalah ngegantung akhirnya selesai. Sudah gitu hutang juga lunas.”
“Iya, sekarang kamu bisa fokus lari ngejar si pacer itu.” Goda Lala. “Bentar lagi marathon kan, jangan lupa rencanamu confession day nanti loh.”
Cahya terus digoda Lala, namun dirinya tidak bergeming dari kasur dan selimut. Mata Cahya yang tidak tertutup selimut menatap kertas cetakan berisi training plan yang ditempel di dinding. Jadwal latihan yang tidak diikuti dengan benar karena sempat kacau ketika ia sakit dan kehabisan uang. Cahya khawatir karena ketika race nanti Kiki tidak akan menjadi pacernya. Lelaki yang membuatnya berlari marathon itu akan mengejar kecepatan dan berusaha menjadi yang terdepan, meraih juara dan berdiri di atas podium.
Apa aku akan ditinggalnya nanti tanpa sempat menyatakan rasa cintaku? Pikir Cahya.
***
“Ini kenapa kamu malah bikin gambar pengendara motor jadi pasukan berkuda terus pejalan kaki jadi pasukan tombak?” Keluh Pak Nasrul.
“Anu, jadi kupikir bisa dibikin semacam personifikasi. Hal seru untuk menarik awareness orang tentang perebutan trotoar sebagai hak pejalan kaki.” Jawab Cahya.
Pak Nasrul tampak tidak tertarik dengan penjelasan Cahya, tidak cocok dengan apa yang ingin disampaikan pada konsepnya. Selain dari wajah Pak Nasrul yang tampak kebingungan, Cahya sendiri juga sebetulnya tidak yakin dengan ide yang baru saja dia ajukan. Tanpa perlu berlama-lama lagi akhirnya Cahya berkata, “Nanti saya coba lagi yah, pak.”