Be my Pacer in Marathon

Ockto Baringbing
Chapter #28

Half Marathon

Bangkit.

Ia hanya bertumpu di atas tanah dengan kedua tumitnya saja, tapi kotoran yang menodai sekujur tubuhnya menunjukkan bagaimana sulitnya dia menumpukan kedua telapak kaki tersebut.

Bangkit.

Ia hanya berpijak di atas rumput dengan kedua telapaknya saja, tapi dedaunan yang menyangkut di sekujur tubuhnya menunjukkan bagaimana sulitnya dia memijakkan kedua kaki tersebut.

Bangkit.

Ia hanya berdiri di atas lumpur dengan kedua kakinya saja, tapi benda lengket yang menempel di sekujur tubuhnya menunjukkan bagaimana sulitnya dia mendirikan kedua kakinya tersebut. 

Makhluk cahaya putih itu bangkit setelah terjatuh ke tanah, terjerumus ke semak-semak, dan tenggelam ke lumpur. Ia tampak optimis dan menatap ke langit setelah merasakan bagaimana sakitnya terdampar ke bawah dan jiwanya terhisap di situ.

Runners! Kalian semua sudah siap?! 5 menit lagi kita mulai!!” Teriak Melati. Sebagai MC acara half marathon UI, dia memandu acara dengan penuh semangat.

Cahya berdiri di antara ratusan pelari lainnya dengan penuh percaya diri. Ia tahu kalau dirinya tidak akan memenangkan race ini, tapi ia yakin kalau akan menyelesaikan half matahon pertamanya dengan baik.

 “Kamu sudah siap, Cahya?” Tanya Kiki.

“Siap, coach.” Jawab Cahya.

“Haha, kali ini aku bukan coach. Kita adalah sesama pelari.”

“Baiklah, mari sama-sama berusaha.”

Cahya dan Kiki saling tersenyum. Mereka berdua lalu bersiap untuk lomba lari sejauh 21,1 kilometer pertamanya dan berharap finis sesuai waktu yang ditargetkan masing-masing.

“10,9,8,7,6..”

Cahya menatap ke depan, Kiki berlari di tempat bersiap memacu kakinya.

“5,4,3,2..”

Bendera merah putih berkibar mengobarkan semangat, bukan untuk memperjuangkan kemerdekaan tapi mencapai garif finis.

TEET!

Terompet berbunyi sebagai tanda race telah dimulai. Suara itu langsung tenggelam oleh ribuan derap langkah kaki, teriakan yang membahana dan dukungan dari penonton di sekitar.

30 detik setelah bunyi terompet, Cahya dan Kiki berlari bersama di antara ratusan pelari lainnya melewati garis start.

1 menit setelah bunyi terompet, Kiki mulai memacu kecepatannya dan melangkahkan kaki ke depan. Pace 7 Cahya tidak bisa mengimbangi Kiki yang berlari dengan pace 5, mereka berdua mulai terpisah.

2 menit setelah bunyi terompet, punggung Kiki mulai berbaur dengan punggung pelari-pelari lain. Cahya sampai kesulitan membedakan mana punggung orang yang disukainya itu karena dari tadi Kiki sibuk bergerak ke kanan dan ke kiri membalap pelari lain. Sampai akhirnya Cahya berlari sendirian di antara ratusan orang yang tidak dia kenal, tertinggal jauh oleh Kiki.

***

“Sudah cukup nangisnya?” Tanya Afi.

“Eh, ah..” Cahya kebingungan.

“Sudah keluar semua kan galaunya?” Tanya Lala.

“Ng..” Cahya semakin bingung, dia yang baru saja menangis dan menceritakan keluh kesahnya dalam pelukan Afi dan Cahya tiba-tiba ditanya seperti itu.

“Kamu yang nolak tapi kenapa malah kamu yang stres?!” Ketus Afi. “Apa jangan-jangan kamu sebetulnya suka sama dia?”

“Hah? Nggak kok.” Balas Cahya.

“Kalau begitu harusnya kamu biasa saja,” Seru Lala. “Jangan malah takut-takut gitu.”

“Eh..” Lirih Cahya.

“Wajar saja kalau Raka terluka dan berusaha ngehindarin kamu!” Ketus Afi. “Tapi bukan berarti dia ninggalin kamu! Percayalah, waktu kita bertiga ngerjain proyek gambar oppa di meja kantin tetap saja masih ngomongin kamu. Dia nanya-nanya gimana kabar Cahya!”

“Daripada kepikiran terus gimana kalau besok kamu ikut ngumpul lagi saja?!” Lanjut Lala. “Ngomong langsung saja ke Raka, tanya bisa bantu tugas kamu tidak?!”

Huff huff.

Memasuki kilometer 3, Cahya yang berlari sendiri teringat akan momen yang dialaminya ketika bersama Afi dan Lala. Sewaktu mereka bertiga saling berpelukan di kamar Cahya diiringi lagu Korea, VFX. Bagaimana Afi dan Lala mencoba membantu Cahya keluar dari keresahannya.

“Eh, Raka. Ka.. kamu masih ngerjain ini.. gambar oppa-oppa.. korela—eh, korea gitu?” Tanya Cahya, ia canggung sekali ketika mendatangi meja yang biasanya mereka tempati berempat.

“I.. iya, lumayan aku jadi dapat uang.” Balas Raka.

Cahya kemudian duduk dan minum jus yang sudah dibelinya. Suasana kemudian hening, Afi dan Lala masih sibuk dengan handphone mereka dan Raka sibuk menggambar. Cahya yang tidak ada kerjaan akhirnya hanya menggigit sedotan sambil diputar-putar mengaduk jus alpukatnya. Matanya bergerak mengikuti aliran coklat yang tertarik arus adukan alpukat.

Lihat selengkapnya