Be my Pacer in Marathon

Ockto Baringbing
Chapter #32

Sebelum Marathon

“Aduduh, sakit!” Teriak Cahya. “Pelan-pelan dong, pak!”

“Ini sudah pelan-pelan kok,” Balas kakek berpakaian kemeja kotak-kotak.

“Pelan.. pelan.. aduuhh...” Keluh Cahya.

“Pelan-pelan ngedeketinnya.. terus lama-lama jadian deh.” Kata kakek dengan suara pelan.

“Iihh.. apaan sih, Mas Popo.” Seru Cahya.

“Ya iya, dulu nyalahin teman jadi bisa lari. Temannya berhenti lari tapi kamu masih tetap lari. Awalnya lari pelan tapi lama-lama makin kencang, sudah pasti karena ada yang dikejar.” Goda Mas Popo, tukang pijit langganan Kiki.

“Ih, kaan.” Keluh Cahya, ia berusaha melepaskan diri dari pijitan karena malu.

“Eh tunggu dulu, belum selesai ini pijitnya.” Kata Mas Popo sambil menarik kaki Cahya kembali ke kasur untuk dipijit.

“Ma.. maaf,” Balas Cahya. “Habisnya Mas Popo nyindir terus sih. Aduduh.”

“Nyindir gimana?” Kata Mas Popo sambil meminjat kaki Cahya. “Justru aku ngasih semangat. Terus ditambah tusukan-tusukan jari saya, kamu jadi dapat energi tambahan buat ngejar Kiki pas lari.”

“Hiih, lagi-lagi kan.” Keluh Cahya.

“Jadi kamu nggak mau ngakuin kalau mau lari supaya bisa ngejar Kiki?” Goda Mas Popo dengan suara pelan, ia sedang menekuk kaki Cahya sehingga wajahnya dekat dengan telinga Cahya yang sedang tengkurap.

“Iyaa,” Ketus Cahya. “Aku memang ada rencana mau nembak Kiki setelah finis Jakarta marathon.”

“Nah kaan..” Kata Mas Popo sambil tersenyum lebar. “Gitu aja kok susah.”

“Tapi terus terang mas Popo, makin dekat hari race aku jadi makin khawatir. Bisa finis gak yah?” Keluh Cahya.

“Tenang saja, makanya Kiki tersayang bawa kamu ke sini. Dipijit dulu supaya pas lari nanti kakinya dalam kondisi optimal, segar dan siap lari 42 kilometer.” Seru Mas Popo sambil menekuk kaki Cahya yang lain.

“Hahaha, iya. Kiki juga bilang gitu. Minggu terakhir sebelum race kaki diistirahatin dulu, relaksasi sebelum digunakan sekuat tenaga pas race.” Balas Cahya.

“Walaupun mungkin kamu datang ke sini karena diajak Kiki, tapi yang penting kakimu kena imbasnya jadi dipijit.” Goda Mas Popo. Tidak ada kaki yang ditekuk lagi tapi ia senang saja berbisik-bisik di telinga Cahya dengan duduk jongkok di sampingnya.

“Ihh, Mas Popo!” Keluh Cahya, ia pun langsung bangun dan terduduk.

“Nah, kayaknya badan kamu sudah nggak sakit lagi kan?” Kata Mas Popo sambil tersenyum.

“Eh, i.. iya. Rasanya badan jadi segar,” Kata Cahya sambil menepuk-nepuk bahu dan tangannya. Ia lalu menggerakkan kakinya dan diangkat sedikit dari kasur, “Kakiku juga rasanya ringan. Sudah lebih enak dari sebelumnya.”

“Bagus, kamu sudah siap lari marathon berarti.” Mas Popo pun berdiri dengan menjulurkan tangannya untuk membantu Cahya berdiri.

“Terima kasih.” Kata Cahya setelah berdiri dengan bantuan Mas Popo.

“Ingat, secinta apapun, sesuka apapun kamu sama orang,” Kata Mas Popo sambil menekan-nekan jarinya di udara seakan-akan ada tubuh manusia yang dipijat. “Kamu itu lari tidak bisa pakai perasaan saja, tapi pakai kaki yang sehat dan terlatih. Nah kamu perasaan ada, kaki juga sudah terlatih, komplit tinggal jadiannya saja sama dia nanti.”

Cahya tersenyum mendengarnya, ia tahu betul kalau seandainya ia tidak rajin latihan lari maka tidak mungkin bisa lari marathon. Tapi perasaan suka juga lah yang pada akhirnya membuat ia bertahan untuk terus ikut latihan sehingga kakinya kini menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Tinggal satu tahap terakhir, yaitu mengungkapkan perasaan pada Kiki di garis finis Jakarta marathon nanti untuk mendapatkan paket komplitnya.

“Cahya, sudah selesai?” Tanya Kiki sambil masuk ruangan.

Lihat selengkapnya