Cahya berada di tengah, di samping kanan ada Karina dan di samping kiri ada Nadya. Mereka bertiga berlari berdampingan, dan di belakang Cahya ada Kiki lalu diikuti oleh Maul. Di samping kanan kiri Kiki dan Maul ada anggota Team ORA juga yang lari mendampingi. 3 orang di tiap 3 baris pelari, formasi 9 orang untuk berlari berkelompok pun dijalankan. Maul yang baru melihatnya sempat kebingungan, apalagi ia berada di paling belakang. Tidak ada yang berlari di belakangnya karena kekurangan orang, tapi Maul merasa terjaga.
Teriakan dan bunyi klakson memang masih terdengar, tapi wajah kesal para pengendara sudah tidak terlihat lagi. Bunyi mesin kendaraan yang meraung-raung juga terdengar jelas, tapi bemper yang siap menabrak dan roda yang siap melindas siapapun yang menghadang sudah tidak terlihat lagi. Tatapan mata ke depan melihat punggung Kiki, Cahya dan lainnya yang terus berlari membuat Maul fokus mengangkat kaki satu persatu ke depan.
Ada laki-laki bertubuh gemuk yang berlari pelan, tapi ia mampu melewati 9 orang yang lari berbarengan. Kiki tidak menyadari itu karena laki-laki tersebut terhalang oleh Karina dan yang lari di sampingnya. Sehingga tidak ada perasaan untuk berlari lebih cepat lagi dari dalam hati Kiki.
Beberapa orang berlari dan berlomba-lomba untuk saling membalap, larinya berpindah ke kanan dan ke kiri menghindari pelari lain. Ada satu perempuan yang saking semangatnya untuk maju ke depan hingga menyenggol dan menabrak beberapa pelari lain. Nadya pun kena tabrak juga, tapi ia dapat segera mengatur posisinya kembali dan terus berlari. Tubuh Kiki yang dipenuhi luka dan memar pun terlindungi, sehingga dia tidak akan jatuh karena tertabrak.
Asap dari knalpot kendaraan dan polusi udara yang tinggi di tengah jalanan ibukota memang masih terasa di hidung Kiki, tapi keringat dari semangat berlari orang-orang di sekeliling membuat ia tidak menyadari hal tersebut. Kiki dapat berlari dengan aman dan penuh semangat hingga mampu melupakan rasa sakitnya.
“Hahaha.” Kiki tertawa kecil.
“Eh, ada apa?” Tanya Cahya.
“Tidak apa-apa,” Jawab Kiki. “Aku ngerasa kaget dan lucu saja, padahal baru kemarin aku ngelindungin kamu dengan formasi ini. Sekarang malah aku yang dilindungin.”
“Loh, tidak apa-apa kan? Hehehe.” Cahya tertawa kecil.
“Iya, tidak apa-apa kok.” Balas Kiki.
“Aku justru jadi senang,” Kata Maul dari belakang. “Sudah lama aku tidak berlari bersama-sama seperti ini. Rasanya menyenangkan.”
“Baguslah kalau begitu.” Balas Cahya.
“Kamu benar-benar hebat Cahya, sepertinya kedatanganmu benar-benar sebuah berkah.” Kata Karina.
“Iya, berkah buat Kiki.. eh buat Team ORA juga. Kita juga jadi semangat ngelihat perkembangan kamu.” Lanjut Nadya.
“Ah, bisa saja..” Cahya malu-malu.
“Buktinya kamu bisa bawa Kiki lari marathon, bahkan sampai ngelindungin dia supaya bisa finis seperti ini.” Kata Karina.
“Benar, terus bisa nyelesain kesalahpahaman Kiki sama temannya.” Lanjut Nadya.
“Itu karena temanku juga.” Balas Cahya.
“Berkat temanmu kamu jadi lari CFD, tapi tetap saja yang membuat kamu tetap rajin berlari adalah dirimu sendiri. Bukan siapa-siapa.” Kata Karina.
“Benar itu,” Timpal Kiki. “Ini semua berkat dirimu.”
Cahya menundukkan kepalanya karena malu, tapi ia senang sekali mendengar pujian dari orang yang disukainya barusan.
***
4 jam lebih sudah berlalu sejak dimulainya lari marathon, formasi yang dipimpin Cahya mulai mengalami penurunan pace. Kiki pun menyadari kalau lari mereka semakin lambat, dari yang tadinya pace 8, sekarang berada di kisaran pace 9-10. Memang tidak mungkin bagi Cahya yang baru pertama kali berlari marathon untuk menjadi pacer, kakinya mulai kelelahan padahal masih ada belasan kilometer lagi sebelum finis.
“Kamu tidak apa-apa, Cahya?” Tanya Kiki.
“Ti.. tidak apa-apa..” Balas Cahya, berusaha meyakinkan padahal kakinya sudah mulai gemetar. Ia belum pernah lari sejauh ini sebelumnya.
“Hup!!” Teriak Karina sebelum akhirnya nafasnya mulai terengah-engah lagi.
Cahya dan Nadya langsung melihat Karina setelah mendengar teriakan itu. Mereka tahu kalau Karina sudah kelelahan dan teriakan itu dikeluarkan supaya dia semangat lagi walau hanya sesaat. Cahya dan Nadya tahu karena mereka berdua juga sudah sama-sama merasa lelah. Ingin rasanya kaki berhenti sejenak dan berjalan kaki.
Ketika sampai di water station, Cahya dan anggota Team ORA lainnya ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan minum, makan buah semangka maupun sekedar berdiri untuk mengatur nafas. Tapi Kiki dan Maul sudah berteriak dan mengajak mereka lari kembali.
Kaki Kiki dan Maul memang terluka dan ada memar-memar, tapi daya tahan tubuh mereka tetaplah lebih kuat daripada Cahya dan lainnya. Meskipun menahan rasa sakit saat berlari, tapi mereka berdua masih sanggup untuk terus berlari. Apalagi mereka lari dengan kecepatan di bawah rata-rata latihannya, jadi bisa tahan lebih lama.
5 jam berlalu dan mencapai kilometer 30, Cahya semakin memperlambat langkah kakinya. Tidak ada orang lain yang komplain, justru Kiki dan Maul yang merasa ini terlalu lambat. Namun mereka berdua sadar kalau ini sudah sampai pada batas kemampuan Cahya. Badan menunduk dan kedua tangan bersandar pada lutut, Cahya dan yang lainnya terlihat lelah sekali.
“Cahyaa!! Karina!! Kiki!!” Tiba-tiba ada teriakan dari samping lintasan pelari, tempat orang-orang menonton Jakarta marathon.
“Co.. coach Tony?!” Cahya kaget.
“Kalian tidak apa-apa?!” Tanya Tony. “Aku sempat dengar kabar kalau ada kecelakaan motor dan ada yang terluka. Aku khawatir kalau itu Kiki karena dia tidak muncul-muncul. Tapi ternyata kamu benar-benar terluka.”