Hiruk pikuk kegembiraan para pelari yang berhasil menyelesaikan marathon masih terus bergelora. Masih ada beberapa menit sebelum batas waktu yang diberikan bagi para pelari untuk sampai ke garis finis. Bila lewat dari 7 jam, maka orang yang masih berlari akan segera dievakuasi dan didiskualifikasi. Mereka pun gagal menjadi finisher.
Bagi yang berhasil menyelesaikan lari sejauh 42 kilometer dalam waktu kurang dari 7 jam, ini merupakan sebuah prestasi. Baik yang finis dalam waktu 2 jam maupun 6 jam semuanya mendapatkan medali yang sama, kecuali juara 1, 2, dan 3. Hanya atlet yang benar-benar mengincar kemenangan yang dapat selesai dengan waktu terbaik 2 jam. Yang lainnya adalah penggemar olahraga lari, sedang mengusahakan hidup sehat, atau sekedar mencoba tantangan baru. Masing-masing dengan ceritanya sendiri.
Termasuk Cahya yang tiba-tiba saja berkeinginan untuk lari marathon padahal sebelumnya tidak suka olahraga sama sekali. Teman-temannya pun heran dan kagum. Afi, Lala dan Raka sibuk merayakan keberhasilan Cahya yang luar biasa ini dengan berfoto bersama-sama. Selfie berkali-kali, foto Cahya dengan Afi, foto Cahya dengan Lala, foto Cahya dengan Raka, dan foto bertiga lalu berempat. Entah sudah berapa kali mereka berfoto bersama tapi tidak pernah puas rasanya.
“Teman kitaaa, tadinya ogah-ogahan dipaksa lari di CFD. Tahu-tahu sekarang jadi marathoner!” Seru Afi.
“Dari yang lari 3 kilo ngos-ngosan, sekarang tetap ngos-ngosan tapi larinya 42 kilo!!” Lanjut Lala.
“Aku lari 1 kilo saja sudah capek, salut deh pokoknya.” Timpal Raka.
“Kalian semua bisa saja, terima kasih yaah.” Balas Cahya.
Mereka pun kembali foto-foto lagi, sampai akhirnya Afi melihat Kiki datang dari belakang.
“Eh, cukup foto-fotonya!” Teriak Afi.
“Loh, kenapa?!” Kesal Lala.
Tanpa basa-basi lagi, Afi memegang kepala Lala dan memutarnya ke samping sampai matanya bisa melihat Kiki yang sedang datang. “AAH!!” Teriak Lala.
Raka yang menyadari keberadaan Kiki pun mundur dari Cahya. Kemudian Afi mendorong Cahya ke belakang, lalu menarik Lala dan Raka pergi.
“Eh, kalian kenapa?” Teriak Cahya.
Lala menunjuk-nunjuk ke belakang Cahya, berharap temannya itu sadar ada yang menghampirinya.
“Halo Cahya.” Kata Kiki pelan.
Cahya kaget mendengar suara yang dikenalnya lalu menoleh ke belakang.
Ayo Cahya, ini saatnya!! Teriak Afi dan Lala dalam hati sambil melihat dari kejauhan.
“Eh, Kiki...” Cahya tertegun, ia menoleh ke arah Afi dan Lala.
Jari telunjuk ditekuk dan jempol kedua tangan bersentuhan membentuk hati, begitulah balasan Afi terhadap pandangan mata Cahya yang menatapnya minta tolong. Lala pun menyilangkan jari telunjuk dan jari jempolnya sebagai tanda hati yang juga terkenal. Raka mengatupkan kedua tangan dan diangkat ke depan memberikan semangat.
Cahya mengerutkan bibir dan berteriak dalam hati. Ini confession day aku, saatnya menyatakan perasaan pada Kiki. Kalau bukan sekarang bisa-bisa aku ditinggal jauh dan belum tentu dia nungguin aku lagi.
“Cahya, kamu nggak kenapa-kenapa? Kakimu masih kuat kan?” Tanya Kiki yang khawatir melihat Cahya jadi kikuk.
“Ti.. tidak apa-apa kok..” Jawab Cahya.
“Baguslah.. kalau kenapa-kenapa besok kita pijit lagi saja.” Lanjut Kiki sambil menunduk dan mencoba melihat kaki Cahya yang sudah berlari jarak jauh itu.
Melihat wajah Kiki yang mendekat membuat Cahya mematung. Hati Cahya tiba-tiba berdegup kencang, lebih kencang daripada saat berlari sekuat tenaga. Nafasnya memburu padahal sudah berhenti berlari. Hatinya terus berkecamuk, Ayo Cahya, katakan!!
“6 jam 34 menit.” Kata Kiki sambil mendongakkan kepalanya.
“Hah?” Cahya kebingungan.
“Kita lari selama itu sampai akhirnya finis.” Sahut Kiki sambil menunjukkan jam tangan olahraganya.
“Waw, lama juga yah 6 jam?”
“Iya, yang jelas itu bukanlah waktu terbaik yang kuincar dalam menyelesaikan marathon. Sulit kalau mau jadi juara dengan waktu di atas 3 jam, apalagi 6 jam, hahaha.”
“Iya sih, tapi kalau buatku sih sudah oke rasanya.”
Kiki terdiam sejenak, tawa kecilnya barusan tiba-tiba hilang dan wajahnya berubah serius.
Mau nunggu berapa jam lagi, Cahya? Ayo ngomong! Cahya kembali bergumul dalam hati.
“Tapi aku mendapatkan waktu terbaik dalam hidup saat bersamamu.” Kata Kiki dengan penuh senyuman.
“Hah? Maksudnya?” Cahya heran.
“Saat pertama ketemu, ngajak kamu pijit, latihan bareng, nyelesain masalah kuliahmu, bantu kamu sakit, permasalahan dengan teman lama.” Kata Kiki pelan-pelan.
“Eh.. gimana?” Cahya semakin keheranan.
“Dari aku yang jadi pacer dan coachmu sampai akhirnya kamu jadi pacerku di marathon pertama ini.” Lanjut Kiki. “Semuanya adalah waktu terbaik dalam hidupku. Bersamamu membuatku jadi ingin berlari lagi.”
Cahya tertegun mendengarnya, tidak ada pergumulan lagi dalam hatinya.